Hiruk pikuk kendaraan di jalanan telah menjadi tontonan Adnan sejak beberapa menit yang lalu. Dia enggan mengakui kebodohan yang telah dia setujui hingga nekat melanglang ke belahan lain kota yang berlawanan arah tempat kerjanya. Namun dia memang telah membuat kesalahan. Penyebab masalah ini kabur ke toilet sejak mereka tiba. Dia ditinggal sendirian di meja kosong tanpa penjelasan.
Ini adalah pelajaran baginya supaya kelak tidak usah memedulikan anak orang yang tampak mau kabur. Sebab belum tentu anak itu benar-benar mau kabur seperti yang dia tuduhkan.
Oh, Adnan yang malang. Dia harus menata ulang jadwal kerjanya.
Tak ingin membuang waktu lama untuk merenungi kesalahan, dia mengambil ponsel di saku celana. Ada beberapa hal yang masih bisa dia kerjakan sembari menunggu Yuniza.
"Maaf ya nunggu lama."
Adnan menghentikan pekerjaan yang dia kerjakan lewat ponsel. Dia mendongak. Kilau pesona perempuan muda di seberang meja menghentak jantung. Yuniza telah berganti pakaian dan merias wajahnya. Penampilannya 180 derajat berbeda dengan yang dilihat Adnan beberapa menit yang lalu.
Yuniza menyelipkan rambut ke belakang telinga. Dia gugup. "Aku aneh, ya?"
"Cantik," desis Adnan.
"Hah?"
"Kamu nggak aneh." Adnan bersyukur bahwa celetukannya tak terjangkau telinga Yuniza. Sungguh, jika ada yang ingin dia hindari, tak lain ialah menabur harapan di hati anak gadis.
"Begitu." Yuniza tertawa kering. Dia menarik kursi, lalu duduk di situ.
"Hm." Adnan mengangguk. Dia berusaha menutupi fakta jantungnya berdebar. Duduk berbatasan meja tidak cukup untuk merentang jarak supaya organ dalam Adnan aman di tempat. Dia mengalihkan perhatian ke ponsel, tetapi gagal merengkuh fokus.
Ini buruk, rutuknya dalam hati.
Yuniza mengetuk telunjuk ke tengah meja. Adnan melirik kecil. Dia masih enggan bertatapan langsung. Yuniza kembali mengetukan jari. Kali ini dia memanggil, "Bapak Adnan."
"Kenapa?" Adnan mengangkat kepala. Dia memantapkan diri menghindari sepasang mata indah Yuniza dengan cara melihat kening perempuan itu. Kening putih berlapis poni tipis sukses mendobrak pertahanan yang Adnan bangun. Bagaimana bisa kepala Yuniza pun begitu indah? Adnan merintih akibat lemahnya iman yang dia punya.
"Kamu kelaparan banget?" tanya Yuniza.
Sekarang Adnan sudah mengibarkan bendera merah. Dia tidak lagi berusaha menolak kilau pesona Yuniza. Mata Yuniza yang bulat berlapis bulu mata lentik terlihat lebih memukau saat dia membelalak dengan ekspresi cemas.
"Kamu nggak usah khawatir. Kita bisa di sini sampai jam 10 dan kamu bebas ambil makanan sebanyak-banyaknya. Apa ada yang kamu mau? Sosis? Omelette? Atau nasi? Biar aku yang ambilkan," kata Yuniza lagi.
Adnan ingin tertawa. Dia geli pada dirinya, Yuniza, dan situasi mereka. Dia menutup mulutnya demi meredam tawa.
"Kok ketawa?"
"Bukan." Adnan mengibaskan tangannya.
"Apa yang lucu?"
"Kamu."
"Aku? Kok bisa?"
Adnan berat mengakui bahwa dia juga menertawakan dirinya yang lemah pada kecantikan perempuan. Biasanya dia cukup cuek kalau berhadapan lawan jenis dan sulit terbawa perasaan. Menemukan dirinya masih normal karena bergetar oleh lawan jenis yang profilnya jauh dari kriteria idaman, Adnan merasa lucu. Dia lumayan percaya diri memiliki ketahanan dari romantisme. Tahu-tahu dia kalah oleh musuh yang tak tampak berbahaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Grapefruit & Rosemary
RomanceYuniza mempunyai masalah. Dia harus segera menemukan calon suami dan menikah. Waktunya terus berjalan dan perut itu akan membesar. Sebelum masalah berbuah retaknya sebuah keluarga, Yuniza hanya memiliki satu pilihan, yakni sederet nomor pada selemba...