Pemuda itu bangun tidur. Kamarnya masih gelap. Jam weker di nakas belum menggaungkan deringan. Hari itu berbeda. Reyyan bangun lebih awal. Dia menggaruk sisi kepalanya. Diam sejenak, menimbang kembali tidur atau bangkit dari kasur. Tangannya menggapai ke sisi lain kasur. Kosong, pikirnya.
Dia menyalakan lampu di sisi nakas. Benar dugaannya. Sisi kasurnya kosong.
Reyyan menyisir kamar. Tidak ada tanda-tanda kehidupan selain dirinya. Dia melompat dan menyambar saklar di dekat pintu. Ruangan terang. Namun yang dicari tak ada.
Dia keluar kamar. Di seberang kamarnya, ada kamar adik perempuannya. Kecil kemungkinan yang dicari ada di sana, tetapi dia tetap memeriksa kamar Dira. Hanya ada Dira yang sedang tidur.
Pilihan lain adalah memeriksa kamar ayahnya. Reyyan menatap ujung lorong kamar tidur anak di rumah itu yang berada di sisi lain kamar tidur utama. Ada ruang makan dan dapur yang memisahkan lorong kamarnya dan kamar utama. Lampu di ruang makan dan dapur mati. Beberapa berkas cahaya lampu taman mengintip dari pintu kaca sepanjang sisi kiri ruang makan. Meski sedikit temaram, Reyyan ragu sosok yang dia cari berani melintasi kegelapan tersebut.
Melawan dugaan, Reyyan melintasi ruang makan. Dia sengaja menyalakan lampu. Langkahnya sedikit ragu menuju satu-satunya kamar di ujung. Daun pintu terbuka sedikit. Ruangan di dalam gelap. Reyyan mengintip. Ketika suara rintihan tertangkap indranya, Reyyan bergegas mendorong pintu hingga terbuka lebar. Tangannya menekan saklar lampu. Ruangan terang. Matanya segera menemukan Akbar di tengah-tengah kasur.
"Akbar, kamu kenapa di sini?" Reyyan mendekat. Dia mengelus kepala Akbar.
"My stomach ugh..." rintih Akbar sembari memegangi perutnya. Badannya meringkuk miring ke kanan.
Reyyan memegang tangan Akbar untuk memeriksa perut adiknya. Dia mengangkat baju Akbar dan memegang perut Akbar. "Ini sakit?" Dia menekan bagian tengah perut Akbar.
"I'm sick." Akbar bangun dan memeluk Reyyan.
Reyyan menggendong Akbar. Dia memerlukan kotak P3K yang disimpan di dapur. Akbar memeluk lehernya erat-erat saat dia keluar kamar. Kotak P3K ada di dalam salah kabinet atas. Reyyan mendudukan Akbar pada kitchen island supaya mudah mengambil kotak P3K.
"Ini sakit." Akbar menunjuk perutnya.
"Cek temperature dulu." Reyyan memeriksa suhu tubuh Akbar memakai termometer. Suhunya normal. "Yang mana lagi yang sakit?" tanya Reyyan sembari menekan-nekan perut Akbar. Dia merasakan perut adiknya keras tidak seperti biasanya.
"Sakiiit," rintih Akbar. Tangannya meremas perut.
Reyyan bingung. Dia tidak bisa sembarangan memberikan obat ke Akbar jika dia sendiri tidak yakin dengan penyebab keluhan sakit Akbar. Mencari jalan solutif, Reyyan memberikan Akbar segelas air putih, meminta anak itu menunggunya di sofa, sementara dia berlari ke kamar untuk mengambil gawai. Dia tidak bisa mengharapkan ayahnya akan membantu di jam segini sehingga dia menekan nomor ponsel neneknya.
"Nek, Akbar sakit. Tolong ke sini," katanya tergesa-gesa.
Tak sampai lima menit, neneknya sudah datang. Betapa beruntungnya dia memiliki nenek yang tinggal persis di sebelah rumah.
"Cucu kesayangan Nenek. Cup cup cup. Mana yang sakit? Kasih tahu Nenek."
Reyyan menonton Akbar yang merengek manja ke neneknya. Sudah bukan sekali dua kali dia menjadi terlupakan saat mereka berdua bertemu. Dia menyibukan diri membuat teh manis hangat dua gelas.
"Kamu sih! Sudah Nenek bilang minum air yang banyak. Perutnya sakit karena susah poop tuh." Nenek mencolek ujung hidung Akbar. Ucapannya berkebalikan wajahnya yang penuh senyuman dan sumringah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Grapefruit & Rosemary
RomanceYuniza mempunyai masalah. Dia harus segera menemukan calon suami dan menikah. Waktunya terus berjalan dan perut itu akan membesar. Sebelum masalah berbuah retaknya sebuah keluarga, Yuniza hanya memiliki satu pilihan, yakni sederet nomor pada selemba...