36a

1.3K 207 14
                                    

Jari-jari itu menjalin dengan gelisah di atas pangkuan. Sepasang matanya yang bulat sesekali berkelana ke jam di dinding. Sudah nyaris 40 menit sejak kedua orang tuanya masuk kamar dan sampai sekarang belum ada satu pun dari mereka yang keluar. Padahal ibunya telah berjanji akan membicarakan soal pernikahannya malam ini juga. Keraguan menyusup di rona wajahnya. Barangkali keputusan ibunya terlalu terburu-buru untuk membicarakan soal pernikahan ini. Mungkin akan lebih baik jika menundanya sampai esok hari. Namun esok akan terasa bagaikan berabad-abad jika ditunda. Gadis itu, Yuniza, menghela napas panjang.

Dia tidak tahan untuk duduk berlama-lama. Kepalanya pening akibat memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di balik pintu kamar kedua orang tuanya. Kakinya melangkah mondar-mandir di depan pintu kamar dan tangannya meragu atas pilihan keluar atau bertahan di dalam kamar. Ketika kenop pintu itu berputar, dia berhenti. Matanya membesar dan napasnya ditahan sembari menantikan orang yang akan masuk ke kamarnya. Dan di situlah dia menemukan Yessy.

"Kamu belum tidur?" tanya Yessy.

Yuniza mendesah. Bahunya melorot dan dia berbalik ke kasur untuk melemparkan badannya ke situ. "Belum," jawabnya singkat tanpa gairah.

Yessy menutup pintu dengan perlahan, lalu bergabung di sisi Yuniza. "Kenapa lesu begitu?"

"Nggak ada apa-apa. Apa Kakak lihat Mama?"

"Mama?" Yessy berpikir sejenak. "Bukannya mama sudah di kamar?"

"Mama belum keluar?" Yuniza menggosok jari-jari kakinya pada karpet dengan muka kecewa.

"Kamu memerlukan sesuatu dari mama?"

"Itu..." Yuniza memiliki hubungan yang baik dengan Yessy, meskipun berbedaan umur mereka begitu jauh. Baginya, Yessy selalu bisa menjadi pendengar dan pemberi solusi. Sikap Yessy yang demikian yang membuat Yuniza selalu berusaha menjadi pendengar yang baik saat kakaknya ingin curhat. Dia tidak perlu berpikir dua kali untuk mengutarakan bebannya saat ini. "Mama mau bicara ke papa soal pernikahan aku dan Mas Adnan."

Ekspresi Yessy berubah cemas. "Nis, apa kamu nggak berpikir keputusan ini terlalu cepat?"

Yuniza menggeleng. Dia menggigit bibir bawahnya. Mata Yessy terlalu tulus dan jujur menyatakan kekhawatiran dan kasih sayang untuknya. Dia tidak tega menarik Yessy dalam permainan gilanya terbebas dari belenggu yang mencekik leher. Di sisi lain, dia tidak ingin kehilangan kakaknya yang tersayang. Dia memeluk Yessy dan menyandarkan pipinya ke bahu sang kakak. Selalu ada kenyamanan dalam pelukan kakaknya. "Aku nggak ingin kehilangan dia," bisik Yuniza.

"Tahun lalu, Rio hendak melamar kamu dan kamu malah memilih putus dari dia. Kenapa sekarang kamu ingin sekali nikah sama Mas Adnan?" Yessy membalas pelukan Yuniza. Dia mengelus rambut Yuniza yang panjang dan bergelombang.

"Tahun lalu dan tahun ini berbeda. Orangnya pun berbeda." Yuniza melonggarkan sedikit pelukan mereka untuk melihat Yessy. "Mas Adnan dewasa dan bijak. Kalo Rio, dia itu masih gampang emosi dan suka menang sendiri."

"Kamu nggak bisa membandingkan dua orang seperti itu, Nis. Rio masih muda dan masih belajar mengatur emosinya. Mas Adnan lebih dewasa karena dia lebih tua. Ada baik dan buruk dari setiap orang dan nggak bisa kita bandingkan. Yang Kakak pikirkan adalah keputusan kamu menikah dengan Mas Adnan. Perbedaan usia kalian jauh, selain itu kalian baru saling kenal. Apa nggak terlalu terburu-buru?"

"Kakak dengar sendiri omongan mama, mama lebih rela aku menikah sama Mas Adnan daripada kami berhubungan di belakang."

"Nis..." Yessy mendesah. Dia melepaskan diri dari rangkulan Yuniza. "Kakak susah percaya."

"Aku sudah minta ke Kakak untuk selalu ada di sisiku, termasuk keputusanku. Biarkan aku yang bertanggung jawab."

"Bukannya Kakak nggak mau, tapi semua ini..." Yessy menggeleng.

Grapefruit & RosemaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang