28

4.3K 582 49
                                    

Yuniza meneguk ludah saat menatap nomor tak bernama di ponselnya. Tanggal panggilan itu baru kemarin. Nomor yang digunakan Akbar untuk meneleponnya. Ibu jarinya berputar selama dirinya menimbang akan menelepon atau mengubur ide gilanya.

Tatapannya naik ke pintu kamarnya yang tertutup rapat. Sudah pukul sebelas dan belum ada pergerakan dari ibunya untuk meminta maaf.

Dia tertawa sinis. Memangnya kapan ibunya pernah mengutamakan dia. Semua selalu tentang Keysha. Gila sekali membayangkan hidupnya masih tentram semalam dan pagi ini sudah dirundung badai seakan ketentraman yang dia reguk semalam mesti dia bayar.

Cuaca di luar berubah gelap. Awan mendung berarak menutup birunya langit. Dia kembali tersenyum sinis. Bahkan alam pun menirukan suasana hatinya yang carut-marut. Kemudian tekad itu membulat. Dia tidak lagi peduli hal lain. Baginya, ini adalah waktunya berubah. Persetan soal orang lain. Dirinya yang utama. Jika tidak ada yang mengutamakan dia, maka dia yang akan mengutamakan dirinya sendiri.

Jarinya meluncur ke nomor asing. Dia menarik napas sembari menantikan panggilan teleponnya diangkat. Ketika suara di ujung sana terdengar, dia menggigit bibir bawahnya. Ternyata tekad saja masih kurang untuk memulai. Dia butuh keberanian dan 'sedikit' kegilaan.

"Halo. Ini siapa ya?"

Suara di seberang asing di telinga. Yuniza meragu pada pemilik ponsel. "Halo. Saya Yuniza. Kemarin Akbar menelepon saya pakai nomor ini."

"Oh, Akbar. Iya iya. Kemarin hape saya diambil Akbar. Dipake nelepon Mbak ya."

"Maaf, ini siapanya Akbar ya?"

"Saya? Saya Nandar, Mbak. Yang waktu itu nganterin Akbar ke kampus."

Yuniza membulat bibirnya. Dia ingat pemuda yang datang bersama Akbar, tetapi lupa namanya. Sekarang dia akan mengingat nama ini dan mencatat di kontak ponselnya.

"Mas Nandar, saya boleh ngomong sama Akbar? Apa ada Akbar di situ?"

Yuniza cemas permintaannya akan ditolak. Setahunya Nandar adalah sopir Akbar. Belum tentu seorang sopir berani memberikan akses ke orang asing untuk berbicara ke anak bosnya.

"Mau ngomong sama Akbar? Duh, gimana ya ... Akbar masih sekolah. Keluar kelasnya nanti jam 12. Nggak bisa ngomong sekarang, Mbak."

"Kalo saya telepon lagi nanti jam 12, apa bisa?"

"Boleh aja, tapi Akbar nggak pasti keluar kelasnya pas jam segitu. Dia sering lama beresin tas. Nanti saya tanya anaknya dulu, mau ditelepon apa nggak."

Yuniza agak takjub pada Nandar yang masih bertanya keinginan Akbar menerima telepon orang lain. Orang dewasa biasanya cuek terhadap hak anak karena merasa 'Cuma anak-anak' dan menggampangkan keputusan anak kecil.

"Apa bisa kirim pesan ke saya kalo Akbar mau ditelepon?" tanya Yuniza.

"Bisa, Mbak. Nanti saya kirim pesan."

"Atau gini aja, Mas ... tolong tanya ke Akbar, apa mau main ke rumah saya?"

Nandar tidak langsung menjawab yang membuat Yuniza kembali waswas. Bisa saja permohonan dia ditolak.

"Nanti saya tanya, tapi Akbar harus izin kalo main. Jadi, saya harus tanya ke nenek dulu."

"Oh gitu. Nggak apa-apa. Tanya aja dulu."

"Siap, Mbak. Nanti saya kabari Akbar mau ditelepon atau main."

"Makasih, ya."

"Sama-sama, Mbak."

Panggilan telepon usai. Yuniza melempar ponsel ke kasur, lalu merebahkan badannya. Dia letih secara mental. Sayangnya tak ada yang benar-benar bisa membelanya. Dia belum sempat bercerita ke kakaknya tadi pagi. Pikirannya kacau dan dia sadar Yessy harus ke kantor sehingga dia mengusir kakaknya dari kamar dan berdalih akan cerita semua saat pikirannya sudah tenang.

Grapefruit & RosemaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang