"Your cheek is red. What happened?"
Adnan menutup pipi yang jadi korban tamparan. Dia tidak pernah menyangka menjemput Akbar bisa menjadi permulaan drama. Tri sudah memohon maaf atas kekeliruannya dan Adnan tidak ingin memperpanjang masalah. Percekcokan di kamar itu usai karena Tri menawarkan memberi perawatan. Adnan enggan berlama-lama di situ dan memilih untuk pamit pulang. Dia masih sempat melihat Yuniza sebelum pergi. Perempuan muda itu mengantar dia dan Akbar dengan tatapan sayu.
Apa yang akan terjadi andai dia tidak ada di sana?
Sudah pasti Yuniza yang akan menerima tamparan itu. Gadis kurus itu belum tentu sanggup menahan sakitnya tamparan Tri.
Adnan menghela napas. Entah bagaimana dia merasa lega sebab dia yang jadi korban emosi Tri. Bukan Yuniza.
"Ayah, we needa go to IGD?" Akbar kembali bicara.
"Nggak usah. Ayah pulang, terus pakai obat. Nanti juga sembuh."
"Somebody hit you. Right? Who's that person? I may give him some lesson..." Akbar terdiam mendadak. Matanya membesar dan dipenuhi binar kecurigaan. "Oma hit you? Or Kak Yuniza?"
Adnan menggeram kecil. Ada saat-saat dimana dia tidak suka anak pintar. Misalnya saat ini. Saat dimana dia ingin menyembunyikan sesuatu, tapi dibongkar anaknya sendiri.
"Bukan." Adnan memikirkan kebohongan lain yang bisa diberikan untuk menutupi kondisinya.
"You got a hit from a woman..." Akbar memicing. "You did something bad. I'm sure."
"Ayah nggak melakukan sesuatu yang pantas dipukul. Pipi Ayah merah karena hal lain."
"Mosquito," tebak Akbar.
"Yah, semacam itu." Adnan berat berbohong kepada anak sendiri. Lagipula nyamuk macam apa yang bisa memberikan bekas merah sebesar telapak tangan?
"Oma must be aware of dengue. People easily get sick after biting by the mosquito."
Akbar terus mengoceh soal nyamuk. Di balik kemudi, Adnan terpaku pada jalan. Terlalu banyak peristiwa gila terjadi dalam hidupnya usai mengenal Yuniza. Perempuan itu membawa warna baru yang sukar diterima di lingkaran hidupnya yang monoton. Dia menyimpulkan bahwa 'jarak' ialah yang dia perlukan supaya hidupnya aman sentosa.
"Akbar, gimana kalau kamu ke kantor Ayah sepulang sekolah?"
"Kantor Ayah kan jauuuh. No. It's too tiring. We can meet at home."
"Kamu diantar Pak Nandar. Nanti kita makan siang bersama. Ayah sudah lama nggak makan siang sama kamu."
Akbar melirik Adnan bagai elang yang mengincar. Adnan cemas niatannya terbaca. Ketika anak itu berujar, "Oke deh. Aku mau makan siang sama Ayah." Adnan tersenyum lega.
"Jangan ajak Kak Dira," tambah Akbar.
Adnan heran pada hubungan kucing dan tikus ala dua anaknya. "Kenapa nggak boleh ajak Kak Dira?"
"She eats so much and grows nothing. We can stop her eating and see... she may grow bigger like, you know, a girl. A real girl."
Kepala Adnan pusing. Orang-orang yang anti body shaming akan menganggap ocehan Akbar sebagai ejekan. Namun Adnan tahu Akbar tidak bermaksud mengejek tubuh orang lain. Omongan Akbar tak lain adalah bentuk perhatian (yang sayangnya berkesan sinis) pada Dira.
"Kak Dira itu remaja. Dia dalam masa pertumbuhan. Makan banyak malah bagus untuk badannya. Kalau Kak Dira nggak makan, nanti dia sakit dan nggak bisa tumbuh besar. Memangnya kamu tahu apa itu real girl?"
"I know. Tante told me."
Semestinya Adnan sudah menduga ada orang dewasa di balik standar yang diocehkan Akbar. Dan orang yang paling antusias terhadap kecantikan di lingkungan mereka adalah adik perempuannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Grapefruit & Rosemary
RomanceYuniza mempunyai masalah. Dia harus segera menemukan calon suami dan menikah. Waktunya terus berjalan dan perut itu akan membesar. Sebelum masalah berbuah retaknya sebuah keluarga, Yuniza hanya memiliki satu pilihan, yakni sederet nomor pada selemba...