CHAPTER 3

1.9K 26 2
                                    

Malam semakin larut. Namun aku tetap tidak dapat memejamkan mataku. Entah apa yang aku pikirkan hingga menyebabkanku sulit tidur seperti ini. Akupun memutuskan untuk berjalan-jalan saja, daripada aku berdiam diri di kamarku. Aku menuruni anak tangga secara perlahan-lahan. Aku tidak ingin membangunkan yang lain. Mereka akan memaksaku kembali ke tempat tidur kalau saja mereka melihatku kembali berkeliaran, apalagi di tengah malam seperti ini. Di ruang makan, aku bertemu Loul yang sedang menikmati sandwichnya. Dia melirik ke arahku, sekilas. Namun sepertinya dia sedang tidak berminat untuk berbincang-bincang denganku apalagi mengadu pada yang lain kalau aku akan berkeliaran lagi. Akhirnya aku keluar ke tempat yang biasa aku kunjungi, tanpa menghiraukannya. Area hutan itu memang menyeramkan pada waktu malam hari. Tapi aku sudah terbiasa dengan pemandangan seram seperti itu.

Didalam otakku tiba-tiba terbersit akan perintah raja. Aku jadi tidak sabar ingin melihat kemampuan kavalier dari negeri Altra tersebut. Apalagi sudah lumayan lama aku tidak menghajar habis para vampire. Baik kavalier maupun bukan. Seketika aku merasakan sesuatu bergerak di belakangku. Akupun langsung memasang sikap waspada. Aku lalu melihat kelebat kelebatan bayangan melewati pohon-pohon di depanku. "kau tidak perlu menunggu hari esok untuk bertemu kami, Pricshilla". Tiba-tiba suara seorang wanita membuatku menoleh ke arahnya. Dia cantik sekali, dengan setelan kemeja wanita hitam ketat dengan kancing terbuka di bagian atasnya dan celana jeans hitam ketat. Rambutnya hitam, lurus dan memanjang hingga mencapai pinggangnya. Dari pesonanya, aku tau kalau dia vampire. Melihat itu, aku langsung mengandalkan kemampuanku sebagai seorang 'helium vola saga'. Aku lalu memikirkan sebuah pedang. Tak berapa lama kemudian, pedang transparan dari gelombang udara itupun sudah ada pada genggamanku. "jaga sikapmu pada menu makan malam kami, Shelena". Seru vampire laki-laki yang baru datang. Dia langsung saja berdiri di depanku dengan kecepatan tak terduga. Aku langsung bisa menebaknya, kalau si vampire laki-laki ini merupakan seorang 'kavalier'. Tak lama kemudian, seorang vampire wanita yang bernama Shelena tadi mendorong vampire laki-laki itu menjauh. "biarkan aku urus yang satu ini, Rick" serunya. Setelah mengucapkan itu, dia langsung menyerbuku, namun aku berhasil menghindar dan pedangkupun berhasil menyabet lengannya. "ouw... Seorang militum rupanya..." dia lalu tertawa keras. "kita seimbang sayang" ucapnya kemudian. Tanpa menungguku menanggapi ucapannya, dia lalu menyerbuku kembali. Rupanya dia juga seorang militum. Namun dia termasuk pada 'ventus saga'. Seseorang yang dapat mengendalikan angin. Aku semakin kewalahan. Disamping gerakannya cepat, dia juga berhasil menghempaskan tubuhku berulangkali dengan kemampuannya itu. Aku semakin geram dibuatnya. Dia sama sekali tidak memberiku kesempatan melawan. Aku lalu mencoba berdiri, setelah sebelumnya dia menghempaskan tubuhku ke pohon besar dibelakangku, yang hampir membuat tulang punggungku remuk. Dia lalu menyeringai, seolah meremehkanku. Dia mengarahkan telapak tangannya padaku. Detik kemudian, tubuhku terangkat dari tanah. Pusaran angin kecil melingkari leherku dengan kuat. Aku hampir mati dibuatnya. Dia terus saja menyeringai melihat keadaanku yang dirasanya sudah lemah. Aku memandang lurus ke arahnya. Aku menimbang-nimbang kemungkinan yang terjadi jika aku melawan. Akhirnya aku mendapat kesempatan emas. Dalam keadaan seperti ini, dia tentu saja menganggapku lemah. Ini memberi peluang padaku untuk menyerang secara tiba-tiba. Dalam keadan tercekik seperti ini, aku berusaha menciptakan pisau kecil dari kemampuanku itu. Aku langsung mengarahkannya tepat di jantungnya. Pusaran angin yang tadi melingkar di leherku, perlahan-lahan menghilang. Aku langsung saja jatuh dengangaya'gerak jatuh bebas' ke tanah. Tubuhku lemah. Cekikan tadi cukup untuk membuat tubuhku kaku. Kuakui, aku memang belum siap bertemu mereka sekarang. Vampire-vampire yang kujumpai selama ini hanya vampire biasa, bukan dari kalangan kavalier, apalagi militum.

Tak lama kemudian, aku mendengar suara tepuk tangan dan suara tawa seseorang. Aku mengangkat wajahku. Pandanganku kabur, aku tidak dapat melihat jelas seperti apa wajahnya. Namun dari nada suaranya, aku tau kalau dia bukan vampire laki-laki yang dipanggil Rick tadi. Rupanya Rick sudah pergi. “well… well… well… Pricshilla Almoreigh kau cukup hebat dapat melumpuhkan Shelena. Padahal dia tidak mudah dikalahkan, meski terkadang lengah”. Setelah berkata seperti itu, detik berikutnya kurasakan pria itu menubrukku. Punggungkupun kembali menghantam pohon. Mata ungunya menatapku. Mata itu kurasakan sangat familiar. Aku sepertinya mengenal mata itu. Tapi kapan dan dimana…?. Lama aku larut dalam fikiranku, tiba-tiba aku merasakan sakit di leherku. Ternyata dia telah menggigitku. Arrggghhhh…. Kenapa aku bisa sampai lengah seperti ini. Aku merasakan sakit luar biasa di sekujur tubuhku, hingga ke kepalaku. Kepalaku terasa panas, dan terus memanas. Namun akhirnya rasa sakit itu tiba-tiba hilang. Pemandangan hutan seketika tergantikan dengan pemandangankota. Aku melihat sekeliling. Aku mengenali tempat ini. Ya, inikotakelahiranku, dan sekarang aku tengah berdiri di depan rumahku dulu. Tak lama kemudian, aku mendengar suara teriakan kesakitan dimana-mana. Sekelompok vampire tiba-tiba saja datang dan memporak porandakankotaini. Aku melihat ibuku keluar dari rumah, dengan membawa Delion kecil dalam gendongannya. Ayah dan kedua adikkupun ikut keluar. Aku ingin berteriak memanggil mereka. Aku ingin mencegah mereka melawan vampire-vampire itu. Namun aku seperti terpaku pada tempatku tanpa bisa melakukan apa-apa dan mengeluarkan suara. Aku hanya dapat menangis melihat mereka. Aku seperti sengaja ‘dipaksa’ melihat adegan pembunuhan orang tuaku itu. Aku melihat ayahku mencoba melawan mereka. Dia juga seorang ‘helium vola saga’ sepertiku. Namun usaha itu sia-sia. Vampire berambut merah yang mulutnya sudah berlumuran darah, langsung menyerangnya. Vampire-vampire yang lain juga membantunya. Mereka mencabik-cabik habis tubuh ayahku. Memisahkan semua anggota tubuhnya. Nafasku tercekat melihat itu. Aku benci keadaan seperti ini. Aku ingin menolong mereka. Namun lagi-lagi tubuhku tetap terpaku. Air mataku merembes jatuh dengan derasnya saat aku melihat tubuh kaku Cleo, adik ketigaku yang sudah memucat kehabisan darah. Tak jauh darinya aku melihat Mary, adik keduaku yang mengejang berkali-kali karena darahnya hampir terkuras habis. Sekarang aku melihat ibuku yang sedang duduk menangis, memohon agar Delion tidak disakiti. Vampire yang memegang Delion itu hanya menyeringai kejam. Dia langsung saja memisahkan kepala Delion dari tubuhnya, dan melemparnya ke tengah jalan. “tidaaaaaaaaaaakkkkkkk……….” Teriak ibuku. Dia lalu bangkit, mencoba menyerang vampire yang telah membunuh Delion itu. Namun usahanya sia-sia ketika seorang vampire berambut biru tua dengan mata yang menyala merah, menggigitnya dan menghisap darahnya sampai habis. Puas menghisap darah ibuku, dia lalu menatapku. Mata itu… lagi-lagi aku merasa familiar dengannya. Dia sepertinya tidak menghiraukanku. Dia langsung saja pergi beserta kawanannya yang lain Melihat itu semua, kakiku lemas. Aku lalu terduduk dengan lututku yang menopang tubuhku. Aku menangis sejadi-jadinya melihat seluruh anggota keluargaku dibunuh dengan sadis seperti itu. Setelah semua vampire itu pergi, aku melihat seorang gadis berusia 13 tahun datang kearah anggota keluargaku dengan berlari. Dia menjerit-jerit melihatnya. Dari mukanya, aku dapat mengenali kalau itu aku ketika masih berusia 13 tahun. Pada waktu itu aku memang sedang pergi ke hutan untuk mendapat pelatihan menjadi ‘kavalier’ junior, hingga tak bisa membantu ayah ibuku untuk melawan vampire-vampire itu. Aku terus memperhatikan gadis itu menangis. Lalu seketika semuanya lenyap. Aku kembali pada tempatku semula… di hutan. Samar-samar aku melihat tubuh vampire yang menggigitku tadi terhempas ke tanah. Masih dengan pandangan kabur, aku melihat teman-temanku ada di tempat ini. Rasa sakit itu seketika kembali menjalari tubuhku, terutama kepalaku yang kurasa mau pecah. Aku menggelepar-gelepar di tanah bagai ikan yang berada di daratan. Aku bagai kehilangan kesadaranku, karena aku tidak tau lagi apa yang telah terjadi di sekitarku. Yang kutau hanya rasa sakit yang sangat. Lalu kemudian semuanya gelap dan hening. Tidak ada yang kurasakan lagi selanjutnya. Mungkin aku sudah kembali tak sadarkan diri.

the last 'lego'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang