Aku berdiri di suatu ruangan, yang kutaksir merupakan sebuah ruang tamu. Aku memandang sekeliling. Dengan ditemani cahaya remang-remang, aku dapat melihat sebagian besar isi ruangan ini.Adasebuah lemari tua di sebelah sofa tempat aku duduk. Sebuah jendela yang berada tepat di depanku. dan tepat didepan sofa ini terdapat meja kayu tua. Semuanya tampak sederhana. Ini seperti rumah lamaku. Aku beranjak dari dudukku. Menghampiri foto keluarga yang terpampang di dinding dan tampak kusam. Ya Tuhan... Ini benar-benar rumahku yang dulu. dan ini, merupakan foto keluargaku. Aku dapat melihat ibuku tampak tersenyum senang dengan menggendong Delion kecil. Ayah berdiri disamping kanan ibu dengan Mary. dan ini aku, dengan Cleo. Aku menangis. Aku merindukan mereka. Sangat merindukan mereka. Pelukan hangat ibu, omelan ayah karena aku jarang menuruti perintahnya, celotehan Mary yang selalu ingin tampil cantik sepertiku, rengekan manja Cleo yang ingin berpenampilan sepertiku dan Mary, juga tangisan Delion kecil. Sekarang semuanya lenyap. Rumah ini tampak sepi sekarang. Juga tak lagi hangat tanpa mereka. Ayah, ibu. Aku ingin kalian kembali. "Pricshilla, anakku..."
aku terpaku di tempatku berdiri. Aku kenal suara itu. Itu suara ibuku. Apa aku sedang berhalusinasi. Aku barusaja merindukan mereka, tapi ternyata ibu datang menemuiku. Aku membalikkan badanku. Ibu... Itu benar dia. Matanya tampak berkaca-kaca. Aku langsung memeluknya. Kalau benar dia hanya halusinasiku, aku harap halusinasi ini tak cepat pudar. Aku tidak ingin dia pergi. Aku tidak ingin kehilangannya untuk yang kedua kali.
"aku merindukanmu ibu, aku membutuhkanmu". Aku terisak dalam pelukannya. Dia melepas pelukan kami, dan menuntunku ke sofa. Ternyata disana sudah ada ayah, Mary dan Cleo. Aku menghambur kearah Mary dan Cleo. Memeluk mereka erat. Mereka masih seperti dulu. Gadis kecil yang lucu.
"aku merindukan kalian..." Mary lalu melepaskan pelukan kami. Aku duduk disamping Cleo dan ibu.
“kami juga sangat merindukanmu, Shill…” ucap ayah sambil membelai rambutku. Dibarengi dengan senyuman manis Mary dan Cleo. Aku beringsut kearah ibu.
"ibu... Aku terpilih menjadi lego yang terakhir. Aku bingung bu, aku tidak memiliki kemampuan apapun"
"kau punya kemampuan itu sayang. Jangan meremehkan dirimu sendiri. Percayalah kalau kau memang layak menjadi lego, pasti kau akan tau seberapa besar kemampuanmu hingga kau terpilih menjadi lego". Ucap ibu sambil kembali memelukku, dan membelai rambutku. Suaranya sangat khas ibu. Selalu dapat menenangkanku.
"ingatlah sayang. Sesuatu yang baru takkan seindah sesuatu yang lama. Saat kau terjerat dan tak dapat lepas, maka percayalah pada hatimu. Cobalah untuk meraih bagian terdalam didalam hatimu"
"aku... Tidak mengerti bu..."
"suatu saat kau akan mengerti". Ibu lalu mengangkat wajahku.
"satu lagi pesan ibu untukmu sayang. Bertarunglah untuk keikhlasan, bukan untuk pembalasan...
Bunuhlah untuk tujuan kebaikan, bukan untuk meraih kemenangan...
Berbagilah layaknya kawan, bukan untuk mendapat penghormatan... Kau harus ingat itu selalu". Aku mengangguk dan kembali memeluknya.
"ibu, jangan pergi". Aku kembali terisak dalam pelukannya. Aku rasakan tubuh ibu mulai dingin. Dia juga tak membalas ucapanku. Tiba-tiba ada suatu cairan hangat menetes di tanganku. Ibu menangis untukku? Ini baru yang pertama kali. Ibu tidak pernah menangis sebelumnya. Dia wanita yang tegar. Cairan hangat tadi semakin banyak menetes ke tanganku. Aku melepas pelukanku, dan meraih cairan hangat itu. Kental. Aku mendekatkannya ke mataku, untuk melihatnya lebih jelas. Bau anyir langsung merembes masuk kedalam hidungku. Cairan ini seperti… Darah. Benar, ini darah. Aku terhenyak dan langsung mengangkat wajahku. Aku mendapati ibu duduk kaku di sofa tadi dengan darah yang mengalir deras dari berbagai tempat di tubuhnya. Begitupun dengan Mary, Cleo dan ayah. Aku menangis sejadi-jadinya. Ini tidak mungkin terjadi. Tidak akan pernah mungkin. Aku mengulurkan tanganku untuk meraih ibu. Namun ibu dan yang lainnya malah semakin menjauh dariku. Aku mencoba berdiri dan mendekat kearah mereka. Namun gagal. Seperti ada magnet yang menarik tubuhku menjauh dari mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
the last 'lego'
Vampireawalnya aku menganggap kalau aku seorang kavalier biasa. namun kemudian aku mendapat kehormatan menjadi 'militum', penjaga untuk para 'lego'. tapi semuanya berubah. aku tidak menyangka sebelumnya kalau aku-lah yang akhirnya menjadi 'lego' yang terak...