15 - Fernandez [REVISI]

607 19 0
                                        


Maudy memasukkan sepedanya ke dalam garasi yang dipenuhi puluhan mobil mewah. Jumlah itu bahkan belum seberapa dibandingkan dengan koleksi mobil di rumah Bryan dan Zayn. Ia segera masuk ke rumah dan mendapati sang abang, Rafael, sedang bermain PS.

"Lini mana, Bang?" tanya Maudy sambil meletakkan jajanan untuk Rafael.

"Di atas. Tanya aja, tuh, dia kenapa tadi," jawab Rafael santai sambil membuka keripik ubi yang disiapkan Maudy.

"Hah? Lini kenapa?" Maudy langsung bergegas naik tangga yang sangat panjang dan tinggi. Nafasnya tersengal, "Huhhh."

Sesampainya di depan pintu kamarnya, ia membukanya dengan tergesa-gesa.

Ceklek

Lini menoleh ke arah pintu dan melihat Maudy yang tampak khawatir. "Lo kenapa, Lin?" tanya Maudy serius.

Ia memegang dahi, leher, dan tangan Lini untuk mengecek suhu tubuhnya. "Lo kenapa, dah?!" tanya Lini heran sambil sedikit menjauhkan wajahnya.

"Kata Abang gue, lo kenapa-kenapa. Lo sakit?" tanya Maudy, bingung.

"Oh," jawab Lini cuek.

"Ihhh, kasih tau dong! Tega lo ya," Maudy merajuk sambil memalingkan wajah ke arah meja rias.

"Iya-iya, gue cerita. Cini, peluk dulu." Maudy langsung memeluk sahabatnya itu.

"Cerita cepet!" ujar Maudy sambil melepaskan pelukan.

Lini sempat ragu-ragu untuk menceritakan kejadian tadi pagi. Rasa malu menyelimutinya, tetapi akhirnya ia memutuskan untuk bercerita.

"Jadi, tadi pagi kan gue di ruang ganti, terus gue buka bathrobe, ternyata gue datang bulan. Panik dong gue, gue gak tau lo nyimpen pembalut di mana. Gue coba panggil lo, tapi kayaknya lo udah jalan. Eh, yang dateng malah Abang lo, Rafael. Dia liat tembusan darah haid gue di bathrobe lagi. Astaga, malu banget! Terus dia telepon temennya buat minta pembalut. Datenglah tuh cewek, temennya Rafael, ngasih gue pembalut," jelas Lini panjang lebar.

"Huh, astaga," Maudy akhirnya bisa bernapas lega setelah sebelumnya panik.

"Eh, btw, selimut gue kena darah haid juga. Gegara Abang lo ngeselin banget."

"Hah? Lo abis ngapain emang?" tanya Maudy, mulai berpikir aneh-aneh.

"Et, et, et! Jangan mikir yang aneh-aneh. Jadi tadi tuh dia deketin gue, awalnya gue kira dia mau ngapa-ngapain gue. Terus gue jatuh ke kasur. Ternyata dia cuma ngomong kalau temennya mau ke sini. Baru deh gue sadar darahnya nempel. Jangan marah ya…" pinta Lini.

"Udah, gak apa-apa. Yang penting lo baik-baik aja," ujar Maudy sambil menepuk pundak Lini, lalu mengambil jajanan yang ia letakkan di depan pintu tadi.

---

"Maudy, gue balik dulu ya. Bye," pamit Lini yang akan pulang ke rumah.

"Bye-bye, Lini. Dadah…" jawab Maudy sambil melihat mobil jemputan Lini semakin jauh hingga tak terlihat lagi. 

Maudy kembali masuk ke rumah yang megah, melewati pintu yang tampak 40.000 kali lipat lebih besar daripada tubuhnya. Ia berjalan menuju ruang kerja Zayn yang terletak di dekat kolam renang. Ruangan itu penuh dengan buku dan bantex (tempat penyimpanan berkas) yang tersusun rapi di rak.

"Abang…" panggil Maudy lembut.

Kursi yang diduduki Zayn berputar 180 derajat. "Apa, sayangku, adikku tercinta. Sini dong peluk. Masa Abang-nya gak dipeluk," sahut Zayn dengan nada hangat.

Maudy memeluk Zayn. "Abang, telepon Bang Bryan. Maudy kangen. Kalau Maudy kangen Bang Bryan, rasanya Maudy kangen Mama dan Papah," ucap Maudy dengan nada lemas.

Kata-kata Maudy begitu menyentuh. Sang papah, Bara, telah meninggal beberapa tahun yang lalu karena kanker otak, setahun setelah kepergian Nindy. Kondisi Bara semakin memburuk hingga akhirnya ia meninggal dunia, tepat saat Bryan ditunjuk sebagai penerus perusahaan "FERNANDEZ CORP'S." Seluruh perusahaan, baik di Indonesia maupun luar negeri, turut berduka cita atas kepergiannya.

"Iya, Abang telepon ya. Sebentar. Kamu duduk dulu di sofa. Tadi Abang pesen makanan. Dimsum, mau?" tanya Zayn.

"Mau!" seru Maudy, lalu berlari ke arah dimsum yang sudah disajikan. Zayn memesan dimsum seharga 100 ribu, berisi 15 dimsum dengan aneka ukuran dan rasa.

---

"Halo, Bang."

"Hm."

"Maudy kangen sama lo."

"Mana?" Bryan terdengar penasaran.

Zayn menyerahkan ponselnya kepada Maudy. Saat itu, Maudy sedang asyik makan dimsum hingga mulutnya penuh dan manyun.

"Pelan-pelan dong makannya, sayang," ujar Bryan dengan lembut.

"Hai, Abang."

"Hai juga, sayang."

"Abang, Maudy kangen banget sama Abang. Abang kapan ke Jakarta? Di US mulu, ih…"

"Abang juga kangen, Sayang. Tapi kerjaan Abang banyak. Gini deh, kamu kan suka jajan nih, Abang transfer uang biar kamu bisa jajan sepuasnya gimana?"

"Mau."

"Okey, nanti Abang transfer 200 juta. Cukup?"

"Abang, itu kebanyakan lah. Buat Maudy 1 juta satu jam aja cukup kok, hehe."

"Gak mau. Abang maunya yang banyak buat adek Abang tercinta."

"Ya udah deh. Ade boleh pilih nominalnya?"

"Silakan. Mau berapa? 1 miliar? 2 miliar? 5 miliar? 100 miliar? Ratusan triliun pun Abang kasih."

"Hem, itu kedikitan. Ade maunya cash. Boleh?"

"Boleh. Mana HP-nya? Kasih ke Abang Zayn."

Maudy menyerahkan ponsel kepada Zayn sambil kembali menyantap dimsum. Zayn berbicara dengan Bryan.

"Halo. Ngapain, Bang?"

"Adek gue minta uang jajan cash. Gue transfer lo 200 juta, lo kasih dia sehari 50 juta. Kalau dia pergi, kasih 15 juta. Kalau ada acara makan-makan sama temennya, kasih semua uang yang gue transfer."

"Gue gak setuju. Kebanyakan, Bang. Kalau dia megang uang segitu banyak, orang bisa ngincer dia. Lo tau dia suka lupa bawa barang."

"Yodah. Gini deh. Lo kasih dia 5 juta setiap pergi. Kasih black card keluarga dua, ATM biasa empat, dan taruh mata-mata buat jagain dia, tapi jangan sampe dia tau."

"Udah gue lakuin itu sebelum lo suruh."

"Ya udah."

Tut.

"Eh, Bang Br--" Maudy hendak bertanya, tapi telepon sudah terputus.

___
25 September 2022 

Ini, Cerita Kita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang