"Lo itu nggak lebih dari anak pungut yang diasuh sama orang biadab kaya mereka!"
Tak!
Ia langsung meletakkan air yang ia ambil dari dapur diatas nakasnya. Dengan gerakan cepat Saska membuka botol obat yang ada dilacinya. Ia mengambil beberapa butir obat penenang untuk ia teguk bersama segelas air diatas nakasnya. Setelah obat itu benar-benar tertelan dan masuk kedalam tubuhnya, ia menyandarkan punggungnya pada lemari pakaiannya dan merosot dengan lemas.
Keringat itu mengalir tanpa sebab dipelipisnya setelah mendengar kalimat dari Sarla. Setelah bertahun-tahun tidak mendengar orang menghinanya seperti itu, Saska kembali hancur ketika mendengarnya. Dengan tubuh yang bergetar itu Saska meremat rambutnya sendiri sambil menggeleng, "Gue enggak jahat. Mereka yang jahat."
"Gue nggak kaya gini."
Tiba-tiba saja kepalanya itu merasa penuh. Suara-suara tak kasat mata terus saja berlarian didalam otaknya. Pikirannya tiba-tiba berisik dengan suara aneh yang bersahutan disana dan membuat Saska semakin tidak tenang.
"Sekarang kamu jadi anak saya ya? Panggil saya mamah. Dan ini papah kamu."
"Ini adik kamu, Cakra. Kalian yang akur ya, harus saling menyayangi."
"Bang Saska, tolongin Cakra Bang."
"Saya serahkan Saska buat kalian."
"AAAGGRRRR!!"
Entah bagaimana Saska tiba-tiba berteriak kencang sambil menjambak rambutnya. Ia mengerang karena suara-suara itu masih saja berlarian dikepalanya. Ia bahkan membenturkan kepalanya berkali-kali pada lemari didepannya. Tak segan juga ia sempat memukul kepalanya sendiri berkali-kali.
Mendengar suara bising itu Sinta langsung saja berlari menuju kamar Saska. Dan betapa kagetnya ketika melihat Saska yang sedang menyakiti dirinya sendiri itu. Ia langsung menahan tangan Saska untuk tidak memukul kepalanya lagi, "Saska jangan..."
"Saska are you okey?"
Namun Saska masih saja memukul kepalanya sendiri sehingga membuat Sinta berteriak untuk menyadarkannya, "SASKA!!"
Akhirnya Saska berhenti memukul kepalanya itu. Ia bahkan baru sadar kalau ada Sinta yang sedang menahan kedua tangannya. Napasnya itu tiba-tiba terengah-engah dan ling-lung sendiri dengan keadaaanya. Ia seolah melakukannya tanpa sadar.
Sinta langsung saja melepaskan genggamannya dari pergelangan tangan Saska yang ia tahan lalu mengusap rambutnya yang basah, "Why? Kamu kenapa?"
Dengan gugup Saska berusaha berdiri. Ia enggan melakukan kontak mata dengan Sinta dan langsung berjalan menuju kasurnya, "Aku...aku nggak papa mah. Aku cuma kecapean. Aku mau tidur."
"Beneran?"
"I –iya Mah. Mamah keluar aja aku butuh istirahat."
"Kamu jangan sampai sakit ya. Nanti sore kamu ada jadwal syuting."
"I –iya."
Setelah pintu itu tertutup. Saska segera merebahkan dirinya pada kasur sambil terus bersuara dengan intonasi datar yang terus keluar dari mulutnya, "Aku bukan diangkat jadi anak. Aku memang dijual sama orang tuaku. Aku bukan diangkat jadi anak. Aku memang dijual sama orang tuaku. Aku bukan diangkat jadi anak. Aku memang dijual sama orang tuaku."
Love Song_
Sarla tahu mungkin kalimatnya itu sangat tidak pantas ia ucapkan pada Saska, bagaimanapun sabagai diri Saska yang berada diposisi itu jelas tersinggung. Tapi demi apapun, Sarla ini hanya tidak habis pikir dengan sikapnya yang bisa seperti itu. ia tidak yakin kalau manusia seperti itu benar-benar ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZERO BY ONE
Teen FictionSelama merantau Sarla tidak pernah betah dengan satu pekerjaan. Ada saja alasan yang membuat Sarla keluar dari pekerjaannya itu. Hingga suatu hari Sarla mendapat tawaran kerja di rumah seorang publik figure terkenal. Disitulah Sarla mulai mengetahui...