"Seseorang selaluau punya standar untuk dirinya sendiri."
BTS- Love Myself
..
..
..
..Pedar mata sendu itu ia lemparkan pada sebuah bingkai usang dipangkuannya. Tetes demi tetes turun dari sepasang matanya, membersihkan debu kotor yang menempel pada gambar itu. Wira bersimpuh dilantai dingin itu dengan foto masa kecilnya bersama Saska.
Saking lamanya ia mengaku bahwa ia adalah anak tunggal, membuat Wira menjadi terbiasa dengan identitas itu. Sampai lupa bahwa sesungguhnya ada seorang adik yang terpaksa ia asingkan dari hidupnya selama ini.
Semenjak Saska dijual pada Pak Danuar dan Bu Sinta, Wira berusaha menganggap dirinya adalah anak tunggal. Mengaku pada dunia bahwa dirinya adalah satu-satunya anak yang dimilki orangtuanya. Bahkan bersikap bahwa ia tidak pernah bertemu adiknya.
Dan sekarang lihat hasilnya? Yang dinginkan Wirapun terjadi. Mereka menjadi begitu asing. Wira hanya bisa melihat Saska yang hidupnya mulai baik dari layar televisi dan enggan mengakui kalau itu adiknya. Sementara Saska sendiri, ia tidak tahu apakah kakaknya itu masih hidup atau tidak.
Sebenarnya Wira senang melihat kehidupan adiknya jauh lebih baik ketimbang ketika hidup bersama keluarganya. Karena memang itu yang Wira inginkan. Saska hidup dengan bahagia bergelimang harta disana. Berbeda seperti dirinya sekarang. Hidup disebuah kosan kumuh dan sempit yang belum ia bayar dua bulan sebab tidak punya uang.
Namun, ketika percakapan random beberapa hari lalu di kontrakan milik Inggit, Wira merasa bahwa Saska tak cukup bahagia disana.
"Saska sampe kena gangguan mental gara-gara itu?"
"Maksud lo gila?"
"Bukan. Skizofrenia."
Diam-diam Wira menahan napasnya sebab tercekat. Dadanya cukup beerdenyut tanpa alasan saat mendengarnya. Harapan untuk menyerahkan Saska pada Danuar agaknya tak begitu tepat. Padahal semua yang Wira lakukan itu karena Wira sayang dengan Saska, tapi karena hal yang ia lakukan bersama ibunya dulu, membuat Wira merasa gagal menjadi seorang kakak.
Dalam hening kamar kostannya itu Wira semakin erat memeluk foto usang itu dengan perasaan penuh penyesalan. "Maafin Mas Wira Sas..."
Love Song_
Jika diingat oleh kapasitas otaknya, Cakra tidak ingat kapan terakhir kali ia mengicipi makanan dingin dengan rasa vanilla ini. Rasanya masih enak, bahkan lebih enak dari yang ia coba dulu-dulu. Terlebih ketika ia duduk diatas rerumputan hijau disuatu taman sambil menikmati sore. Cakra merasa ini adaah hari paling indah dalam hidupnya.
Cakra pernah berpikir ia akan menghabiskan hidupnya didalam ruangan itu selamanya. Ia tak akan pernah keluar sampai kapanpun dan akan mati membusuk di dalam sana. Semua itu membuat dirinya siap mati kapanpun. Ia sudah tidak peduli dengan hidupnya dan merasa mati adalah satu-satunya jalan terbaik.
Namun ketika gadis itu datang dalam hidupnya, perlahan Cakra mulai menemukan satu titik terang yang namanya semangat. Sedikit demi sedikit bibirnyaitu mulai tersenyum ketika melihat Sarla. Ia mulai merasa ada sebuah jiwa yang mengisi dirinya yang mulanya kosong.
"Sarla." Panggilnya, hanya untuk membuat gadis yang sedang memakan satu cup eskrim itu menaikan wajahnya menatap Cakra sambil berdeham, "Kamu pernah pacaran?"
"Pernahlah." Jawab gadis itu dengan yakin lalu menyambungnya lagi, "Sama kamu."
Lalu laki-laki itu berdecak, "Sebelum aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
ZERO BY ONE
Fiksi RemajaSelama merantau Sarla tidak pernah betah dengan satu pekerjaan. Ada saja alasan yang membuat Sarla keluar dari pekerjaannya itu. Hingga suatu hari Sarla mendapat tawaran kerja di rumah seorang publik figure terkenal. Disitulah Sarla mulai mengetahui...