Aroma tanah basah bekas hujan semalam begitu terasa. Tercium begitu pekat sebab jalanan dipedesaan ini belum diaspal sama sekali. Sawah-sawah hijau masih bisa dilihat dari sisi manapun ketika berkunjung kesini. Suasana pedesaan yang bisa terbilang cukup kental. Tak sedikit lalu lalang warga yang membawa cangkul dipundaknya dan menyapa warga lainnya. Membuktikan bahwa petani adalah pekerjaan mayoritas penduduk daerah ini.
Itulah sebabnya mengapa Sarla rela mengadu nasib dikota demi mengubah hidup keluarganya setelah ayahnya meninggal.
Sementara disuatu rumah yang tak terlalu besar namun dihiasi berbagai tanaman hijau didepannya, Yuda yang hendak bekerja itu terpaksa meringis sambil menutup kupingnya rapat-rapat sebab, pagi-pagi Emak sudah mengomel dengan kecepatkan mobil balap saja karena ucapan Sarla barusan dari telepon.
"APA KATA LU SAR!? PURA-PURA MENINGGAL!!"
Pekikan itu sukses membuat Yuda menutup kupingnya semakin rapat. Begitu juga dengan panggilan dari Sarla yang entah bagaimana nasibnya, Yuda tidak tahu. Ponselnya ia lempar begitu saja ketika Emak mengangkat rotan tinggi-tinggi sambil mengejarnya.
"Ya Allah Mak! Sakit Mak! Jangan digebukin juga dong! Maakk!!" Yuda menjerit saat rotan yang biasa Emak gunakan untuk menjemur kasur itu mendarat dibokongnya, "Ini idenya Sarla!"
"Elu jadi Abang bukannya nasihatin adeknya baek-baek malah nurut aja sama ide gila kaya begitu hah!" omel Emak sambil mengejar Yuda yang berlarian mengitari meja dapur, "Punya anak dua gak ada yang bener!! Bikin gue susah aja lu berdua ye!"
"Tapi ini demi keselamat kita Mak. Ini salah satu syarat pekerjaan Sarla disana."
BUGH!!
"PANTAT GUE TOLOOONGG!!"
BUGH!!
"BOCAH NGGAK TAU DIRI! DIMANA-MANA ANAK PENGEN EMAKNYA PANJANG UMUR! LAH INI MALAH NYURUH EMAKNYA MENINGGAL! DURHAKA KALIAN SAMA GUE YA!!"
"Mak Mak sabar dulu!...ini biar Sarla selamet Mak!" Yuda masih berusaha memberi alasan sambil menahan rotan yang siap menyambar bokongnya untuk kesekian kalinya itu.
"Bocah kaya begitu kagak bakal selamat hidupnya! Dikasih makan dari kecil biar gedenya pinter, tapi pas gede malah nyuruh emaknya foto dibungkus kain kafan! Kalau nggak durhaka apa namanya hah!"
Peperangan antara Yuda dan Emak itu masih berlanjut, menghempaskan aura asri dari pedesaan itu. Mereka masih saja kejar-kejaran mengelilingi rumah, sampai Emak merasakan sesak didadanya membuat Yuda langsung khawatir, "Mak..."
Emak hanya bisa terduduk dengan napas terengah-tengah sambil memegang dadanya. Ia masih kelewat kesal kenapa bisa Sarla punya ide seperti itu. Lagipun kerjaan mana yang mempunyai syarat "Pap foto emak dibungkus kain kafan." Kalau bukan otaknya yang keblinger ya konslet sejiwa-jiwanya.
"Minum dulu Mak."
Setelah meneguk segelas air minum yang Yuda berikan, ia bersandar lemas pada dinding rumah tua itu, "Adek lo kenapa sih Yud? Kemarin bela-belain kerja jauh buat nyari duit biar gue hidup. Sekarang giliran udah dapet kerja malah nyuruh gue mati? Apa gue secerewet itu sampe Sarla pengen gue nemuin bapak lo di akhirat?"
Sebenarnya Yuda sudah menyangka kalau respon dari Emak akan seperti ini. Ia tidak tega mengatakan itu pada Emak. Ia juga mengakui kalau ide Sarla adalah sebodoh-bodohnya ide. Entah itu muncul dari otak Sarla sendiri atau dari orang lain, intinya ini bukanlah ide yang bagus tapi malah terkesan mendoakan.
Tapi setelah semua yang diceritakan Sarla sebelum ia berangkat kerja lagi, Yuda mendadak membayang bagaimana kerasnya adik perempuannya itu berjuang demi dirinya dan Emak disini. Walaupun dikata Yuda itu kakak yang cuek bebek dengan adiknya, Demi Tuhan, Yuda itu sangat menyayangi Sarla. Apapun tingkah gadis itu, Yuda akan tetap menganggap Sarla adik yang seharusnya bisa bergantung dengan kakaknya. Bukan bekerja keras seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZERO BY ONE
Ficção AdolescenteSelama merantau Sarla tidak pernah betah dengan satu pekerjaan. Ada saja alasan yang membuat Sarla keluar dari pekerjaannya itu. Hingga suatu hari Sarla mendapat tawaran kerja di rumah seorang publik figure terkenal. Disitulah Sarla mulai mengetahui...