18. Cakra Merasa Bebas.

22 4 1
                                    

Cakra merasa tubuhnya tiba-tiba kaku -walaupun kakinya itu terus berlari bersama Sarla. Jiwanya seolah melayang melihat hamparan langit biru dihadapannya. Telinganya bahkan tidak bisa menerima ada berapa banyak suara yang ia dengar sekarang. Ia tidak percaya bahwa ia tengah menghirup yang namanya udara bebas.

"Sarla aku mau diajak kemana?"

Sarla tak menjawab dan terus mengajaknya berlari jauh dari rumah itu. Sarla seolah benar-benar membawanya pada dunia yang belum pernah ia kunjungi. Ini seperti dunia jaib yang pernah ia bayangkan.

Sejak kapan gedung-gedung itu menjadi raksasa? Apakah dunia sudah semaju itu seperti film robot yang pernah ia lihat dulu? Jika benar, mungkin Cakra adalah satu-satunya manusia purba disini.

Hingga Sarla berhenti disuatu tempat. Kalau Cakra mendongak untuk membaca tulisan disana, ia berhenti di halte bus. Ah rupanya masih ada halte bus. Ia pikir ia akan dijemput oleh sebuah robot berbentuk naga untuk mengantarnya jalan-jalan bersama Sarla.

"Astaga paru-paru gue kaya mau meledak! Hosh hosh hoss..." keluh Sarla sambil membungkuk memegang lututnya, "Gila capek banget."

Sementara itu Cakra masih memandang jalan raya yang ada didepannya. Napasnya juga terengah-engah, apalagi ia harus membawa ransel super berat yang berisikan barang-barangnya.

"Kita...kita...kita nunggu bus dulu disini." ucap Sarla masih ngos-ngosan.

"Kita nggak naik robot naga Sar?"

Sarla langsung menoleh dengan wajah yang penuh keringat itu dengan ekspresi aneh campur emosi, "Rabot naga naon sih Cakra! Ya pake bus masa pake robot! Orang berhenti di halte bus juga! Masa nyegat naga!"

"Kan dunia udah maju Sar. Emang masih ada bus?"

"Kemajuan kalo itu mah."

"Tapi kan..."

"Teuing-ah Cakra." Sarla mendengus kesal. Andaikan Sarla tidak pernah cerita kalau jaman sudah maju pada Cakra. Emang maju, tapi kalau sampai bus berubah jadi robot naga ya udah diluar nalar itu.

Hingga buspun datang, Sarla langsung mengenggam jemari Cakra untuk segera menaiki bus itu bersama orang-orang di halte. Cakra lupa kapan terakhir ia menaiki bus, yang pasti kursi dibus dulu tidak sebagus dan sebersih ini.

Sarla lantas mengajak Cakra duduk dibangku bermuat dua orang dengan Cakra yang berada dipinggir, "Disini aja."

Cakra lalu mendudukkan bokongnya disana sambil melihat jendela disamping Sarla. Diam-diam ia berbicara sendiri dalam hatinya, betapa indahnya dunia diluar ruangan gelap itu. Ada banyak manusia tertawa tanpa beban bersama orang terkasihnya. Sama seperti Cakra bersama orang terkasihnya, Sarla.

Dulu ia pernah berpikiran lebih baik ia didalam ruangan itu asalkan tetap hidup, tapi sekarang, ia pikir lebih baik ia keluar dari tempat menyakitkan itu walalupun harus mati. Tak apa jika memang nanti balasannya adalah nyawa, yang penting ia meninggal dengan keadaan sudah terbebas. Dia tak akan kembali lagi ke kempat itu, sampai kapanpun.

Ia lalu melirik gadis yang menyandarkan punggungnya dengan napas yang setengah ngos-ngosan. Tampak sekali dengan peluh yang mengalir dipelipisnya membuat Cakra menyeka itu dengan tangannya, "Maaf ya udah bikin kamu capek banget."

Namun gadis itu menggeleng sambil menurunkan tangan Cakra yang membersihkan keringatnya, "Gak papa. Kamu mau pindah duduk? Mau liat jendela? Tuh liat ada gedung-degung tinggi bagus banget kamu pasti suka."

"Nggak usah. Liat kamu aja juga aku suka."

Sontak saja Sarla langsung memukul lengan Cakra dengan pipi yang memerah, "Heh! Siapa yang ngajarin kamu gombal kaya gitu?"

ZERO BY ONE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang