Ketika jarum jam semakin naik menunjukkan bahwa hari semakin malam, Iqbal membawa Anggi kekostannya. Iqbal bisa rasakan bahwa gadis itu begitu ketakutan. Ia mendudukan Anggi disebuah kursi sambil mengusap kepalanya.
"Kamu gak papa?"
Anggi melihat anaknya telah terlelap saja sendiri dikasur. Gadis itu mengangguk pada Iqbal tanda bahwa ia baik-baik saja. Padahal jujur dilubuk hatinya ia merasa sangat merindukan laki-laki yang masih ia harapkan kedatangannya itu. "Aku nggak papa. Kamu bisa pulang."
"Gimana aku bisa pulang sementara kondisi kamu kaya gini?!" tiba-tiba saja Iqbal membentak dengan raut wajah tak suka sekaligus heran. "Liat kondisi kamu. Kamu butuh ditemenin Anggi...."
Namun gadis itu menggeleng dengan air mata yang jauh lebih deras sambil mendongak menatap Iqbal, "Tinggalin aku Iqbal pliss.."
"GAK BAKAL!" sentaknya lagi hanya untuk membuat Anggi menangis lebih kencang.
Sementara itu ada sesuatu yang sebenarnya...sakit. Laki-laki itu selalu saja disia-siakan oleh Anggi. Kenapa gadis itu masih saja mengharapkan Cakra padahal selama ini Iqballah yang selalu ada disisi Anggi, bukan Cakra. Demi apapun Iqbal itu mencinta Anggi lebih dari apapun. Apapun ia lakukan hanya untuk Anggi, walalpun sering mendapat perihnya.
Iqbal berkacak pinggang sambil menyibakkan rambutnya frustasi, "Lagipun ngapain kamu nangis sampe kaya gini hah? Apa yang buat kamu nangis kaya gini!? Kaya nangisin siapa aja kamu ini! Kamu liat aku Anggi! Aku ada disini buat kamu!"
Gadis itu lagi-lagi menggeleng sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan. Entah bagaimana melihat Cakra hidup itu membuatnya tak ingin jauh dari laki-laki itu. Ia ingin sekali memiliki Cakra dalam hidupnya, "Aku itu masih sayang sama Cakra, Iqbal. Aku sayang sama dia..."
"TERUS AKU INI APA?!" Iqbal teriak untuk ketiga kali. Kali ini ia menatap Anggi dengan mata berkaca, "Kamu bukan sayang Anggi. Kamu obsesi!"
"AKU SAYANG DIA IQBAL!! AKU SAYANG CAKRA!"
"Kalau kamu sayang bukan kaya gini! Semua yang kamu lakuin itu berlebihan. Kamu bikin hidup orang hancur." Akhirnya air mata yang sempat Iqbal tahan itu runtuh juga. Kali ini ia merasa kasihan dengan dirinya sneidir sebab bisa berjalan sajauh ini pada Anggi,"Kenapa kamu belum sadar juga sih Anggi...ini aku. Aku ini buat kamu."
Bukan tentang apa, ia hanya merasa kenapa Anggi tidak bisa menghargainya sama sekali. Setidaknya sekali saja hargai Iqbal yang selalu memperhatikan Anggi untuk baik-baik saja. Bahkan jika bisa, gunakan Iqbal sebakai obat. Jadikan Iqbal ini adalah sesuatu yang candu untuk Anggi.
Laki-laki itu meremas rambutnya sambil bersandar pada dinding dan akhirnya merosot dilantai dingin itu dengan perasaan yang juga perih, "Kenapa kamu masih belum sadar kalau aku itu sebenernya ayah kandungnya Bara? Hal yang selama ini aku lakuin itu bukan cuma perhatian semata, tapi juga tanggung jawab aku sebagai ayah dari Bara."
"Semua yang kamu lakuin dimalam pesta ulang tahun itu sama aku Anggi bukan sama Cakra!" Lanjut Iqbal berusaha untuk membuat Anggi sadar. "Kamu emang bikin Cakra mabuk dan bawa kekamar, tapi apa kamu lupa kalau waktu itu kamu juga mabuk hah? Kamu nggak inget kamu keluar kamar dengan keadaan mabuk gak jelas hah?"
"Aku bantu kamu berdiri waktu kamu hampir jatuh dan berlanjut ke hal itu. Dan semua itu karena apa?" Iqbal berdiri menatap Anggi nyalang, "Kenapa kamu nggak pernah mikir kenapa aku mau ngelakuin hal itu sama kamu? Semua karena aku sayang kamu Anggi!"
"Aku rela nyerahin seluruh dari aku cuma buat kamu! Walalupun waktu itu kamu nggak sadar kalau yang kamu ajak main itu aku bukan Cakra."
Tangisan Anggi semakin menjadi saat Iqbal membentaknya. Ia tidak bisa menyangkal bahwa yang dikatakan Iqbal itu adalah fakta. Semua yang dilakukan Anggi yang mengatakan bahwa Cakra telah melecehkannya itu adalah bohong.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZERO BY ONE
Fiksi RemajaSelama merantau Sarla tidak pernah betah dengan satu pekerjaan. Ada saja alasan yang membuat Sarla keluar dari pekerjaannya itu. Hingga suatu hari Sarla mendapat tawaran kerja di rumah seorang publik figure terkenal. Disitulah Sarla mulai mengetahui...