20. Segalanya.

20 4 0
                                    


"Aku bagi kamu itu apa?"

Hening membuat keduanya sempat bergeming. Padahal jika dilihat dengan kasat mata, banyak orang yang berlalu lalang, tapi kursi bermuat dua orang yang mereka duduki itu membuat mereka menjadi asing. Lampu kemuning taman itu menjadi saksi bagaimana Cakra dan Sarla bungkam untuk beberapa menit lamanya.

Hingga Cakra menjawab, "Segalanya."

"Kenapa?"

Tatapannya Cakra yang lurus dan kosong menghadap kedepan seolah ia mengatakan itu semua tanpa sadar dan langsung dari naluri hatinya, "Karena aku nggak punya apapun di dunia ini selain kamu. Duniaku, hidupku, bahkan aku, itu cuma tentang kamu."

Sarla terdiam, ia juga enggan menoleh untuk sekedar melihat betapa tulusnya laki-laki itu mengatakan kalimat itu.

Sarla sadar, Cakra itu tak banyak bedanya dengan Sarla. Mereka sebenarnya juga sama-sama menghadapi rintangan hidup mereka. Tapi Sarla sangat-sangat sadar, kesulitan hidupnya itu tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Cakra.

Gampangnya Sarla itu cuma apes. (Iya apes berkali-kali.) Sementara Cakra, jika diibarakan setiap bulir air yang turun dari langit itu adalah kesulitan yang dialami oleh hidup, Cakra adalah satu-satunya orang yang terguyur habis-habisan oleh hujan itu. Mirisnya tak ada orang yang mau mengajak berteduh atau sekedar memberi payung. Mereka membiarkan Cakra menggigil kedinginan bahkan nyaris mati dengan itu semua.

Dan ketika Cakra mengatakan Sarla 'Segalanya' itu bukanlah hal yang harus Sarla sangkal dengan alasan. Jika Sarla bisa mengatakan Sarla rela menjadi payung, atau bahkan rumah untuk Cakra agar laki-laki itu tak lagi rapuh.

Hingga Cakra memberanikan diri untuk menoleh kearah Sarla yang masih menatap lurus kedepan, "Sekarang aku yang nanya balik ke kamu. Aku bagi kamu itu apa?"

Sejenak Sarla menelan ludahnya dengan mata yang masih sembab itu, "Kamu memang bukan segalanya dari hidup aku. Karena duniaku nggak tentang kamu aja. Hidup aku itu juga tentang Emak, Abang, Inggit, Bang Joe bahkan Wira si ojek tolol itu. Tapi..." Sarla menjeda omongannya.

"Tapi apa?"

Perlahan Sarla menoleh hanya untuk melihat wajah Cakra yang menatapnya, "Hari ini, kamu jadi bagian dari mereka. Orang-orang yang jadi dunia aku."

"Kamu itu nggak sendiri Cakra. Jangan pernah berpikir kalau kamu itu nggak pantas di dunia ini. Kamu itu nggak sendiri," Tegasnya lagi lalu menunjuk dirinya, "Ada aku disini Cakra. Ada aku."

Cakra bisa rasakan betapa hebatnya dadanya berdenyut karena ucapan Sarla yang begitu menyentuh relung hatinya. Cakra mengakui kalau dirinya juga menyukai Sarla, tapi dengan segala kekurangannya apakah ia pantas untuk dicintai? Hingga Cakra menggeleng pelan, "Aku nggak sesempurna itu untuk disayang orang kaya kamu Sar..."

"Aku nggak peduli! Aku nggak peduli seberapa kurangnya kamu. Kamu sempurna dimata aku Cakra! Cinta itu akan sempurna kalau kita mau melengkapi ketidak sepurnaan itu."

Hanya dengan begitu saja hati Cakra mencelos hebat. Perlahan ia membawa kepala Sarla untuk bersandar lagi kebahunya untuk melihat hamparan langit berbintang didepannya. Sesekali ia mengecup ujng kepala gadis itu dengan perasaan tulus.

Kali ini Sarla bukan lagi tentang dunianya, bukan lagi tentang hidupnya, tapi juga tentang takdirnya. Ia pikir Tuhan hanya ingin Cakra sedikit sabar menunggu orang seperti Sarla untuk datang agar Cakra merasa betapa berharganya ketulusan seseorang itu.

"Berarti waktu kamu ngomong kita nggak punya apa-apa itu salah. Kita punya Sar. Aku punya kamu dan kamu punya aku."

Sarla mengangguk. Ia melingkarkan tangannya untuk memeluk pinggang laki-laki itu dengan hangat sambil menyandarkan kepalanya dibahu laki-laki itu, "Iya kamu bener."

ZERO BY ONE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang