02. Memperhatikan dalam diam

420 236 639
                                    

Malam ini terasa lebih mencekam, tidak ada bintang-bintang yang bertaburan, yang ada hanya dinginnya angin malam yang menusuk hingga ke tulang. Maurella Arutalla, atau kerap dipanggil Ella. Sedari tadi, manik matanya yang sebiru lautan itu menatap iri kepada teman-temannya, yang pulang di jemput entah itu oleh kekasihnya, kerabatnya, atau bahkan ... Orang tuanya.

"Payah, udah segede ini padahal. Berhenti bersifat kekanak-kanakan, Ella!" sarkasnya kepada diri sendiri.

Enggan terlalu larut dalam kesedihan, Ella memutuskan untuk pergi ke minimarket yang berada tepat di sebrang tempat les nya sekarang. Hanya mengambil beberapa kaleng minuman, Ella langsung bergegas segera membayarnya di kasir.

Sesampainya di tempat antrian, Ella memicingkan matanya, karena merasa tidak asing oleh tubuh tegap seorang pria di depannya. "Vanilla, ya? Apa ini Lingga?" gumamnya, karena Ella mencium aroma vanilla dari pria di depannya sangat kuat. Ciri khas dari seorang Kalingga.

"Lingga!"

Pria tersebut menoleh kearah Ella tanpa ekspresi, tidak sampai satu detik, dirinya kembali membuang muka, kemudian mengambil semua belanjanya lalu pergi ke luar minimarket.

Dengan segera Ella membayar semua belanjaannya, kemudian pergi keluar berniat menyusul Lingga. Namun, langkahnya tiba-tiba saja terhenti ketika melihat seseorang yang sangat dirinya kenali.

"Sean...,"

•••

Malam ini Sean sedang bertobat. Mengingat perkataan Keller tadi di sekolah, benar-benar sangat menyakitkan. Memangnya Sean sebodoh itu, ya? Sean menggelengkan kepalanya keras, berusaha menepis pemikiran itu. "No! Bunda kan bilang kalau gue itu pinter. Sean, lo harus inget! Mau satu dunia bilang lo bodoh, tapi kalau Bunda bilang lo pinter, pasti pinter!"

Dengan penuh semangat dan tekad yang kuat, Sean membuka buku untuk di pelajari dirinya. Namun, belum sampai lima menit ...

"Sean! Kamu ngapain di atas? Ko bau gosong?" teriak Ares—ayah Sean—dari lantai bawah.

Sean menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Wow? Otak gue kepanasan kah di dalem? Kayanya ..., harus jajan es krim dulu biar ademan dikit."

Tanpa pikir panjang, gadis itu bangkit dari tempat duduknya, kemudian bersiap memakai hoodie. "Emang bener kali ya, kalau gue itu bodoh? Buktinya, belum ada lima menit belajar, otak gue udah wassalam."

Setelah siap, Sean pergi keluar kamar lalu menuruni anak tangga rumahnya satu persatu. Sesampainya dilantai bawah, Sean menoleh ke kanan dan ke kiri, berusaha mencari keberadaan kedua orangtuanya terlebih dahulu. Mengira bahwa kedua orangtuanya sudah berada dikamar, Sean memutuskan untuk langsung keluar, karena takut mengganggu istirahat mereka. Ketika dirinya bersiap untuk membuka pintu. "Mau kemana?" tanya Ares yang tiba-tiba saja muncul dari arah dapur.

"Minimarket, mau jajan es krim."

"Ga bawa motor?" tanya Ares heran, pasalnya kunci motor Sean masih tergantung rapih di tempatnya.

"No! Sean lagi mau jalan, itung-itung olahraga malem," balas Sean sembari menyilangkan kedua tangannya.

"Yaudah, hati-hati."

"Iya Ayah, Sean pergi dulu!"

Setelah meminta ijin, Sean pun segera berangkat. Sepanjang perjalanan menuju minimarket, Sean terus mendongak keatas, memperhatikan langit malam yang menyembunyikan keberadaan bintang. "Malem ini mau hujan, ya? Dingin banget." Sean memeluk dirinya sendiri, berusaha menyalurkan kehangatan kepada tubuhnya yang mulai menggigil meskipun sudah memakai hoodie.

Melihat ke arah kiri, terdapat sebuah bangunan yang tak lain adalah tempat les Ella. Sean memeriksa jam tangannya. "Udah waktunya dia pulang. Nanti abis dari minimarket ajak pulang bareng deh, kasian."

Sean's True Love [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang