16. Serpihan kaca

141 39 101
                                    

"Sean?"

"Lo kenapa? Kok ke UKS? Lo sakit?"

Menatap malas kearah gadis berambut pirang di hadapannya. Ya ... Dia adalah Ella, sosok yang dia sayangi sekaligus ia benci akhir-akhir ini. Sean melangkahkan kakinya masuk kedalam ruangan yang sepenuhnya bercat putih dengan beberapa kasur yang terjejer rapih. Sean tidak menanggapi Ella, dirinya lebih memilih untuk segera mencari keberadaan minyak kayu putih yang diminta Bu Lidia tadi.

Geram karena Sean menghiraukannya, Ella menghampiri Sean yang tengah sibuk mencari sesuatu. "Sean, Kenapa lo enggak jawab pertanyaan gue?" Bukannya menjawab, Sean justru menatap datar pantulan Ella pada cermin yang berada tepat di depannya.

Merasa heran dengan tatapan Sean, Ella memutar balikkan tubuh Sean untuk menatap kearahnya. Gadis itu mengecek suhu tubuh Sean menggunakan telapak tangannya, khawatir jika Sean demam atau kurang enak badan. Ella menghela nafas lega ketika merasakan suhu di dahi Sean normal. Sean yang geram dengan perilaku Ella, dirinya menepis tangan gadis itu. "Enggak usah sok peduli," sarkasnya.

Dulu Sean pikir, Sean lah satu satunya orang yang mengerti dan mengenal Ella. Ternyata pikirannya salah, Sean justru tak mengerti dan tak mengenal apa-apa yang bersangkutan dengan Ella. Ella tak sebaik apa yang dirinya kira, Ella tak setulus apa yang Sean bayangkan, Ella menusuknya dari belakang.

Kembali Sean membalikkan badan, gadis itu fokus mencari keberadaan minyak kayu putih di dalam kotak khusus, mengabaikan Ella yang berada tepat di belakangnya.

Ella menghela nafas pelan. "Lo ini sebenernya kenapa?" Ella menatap punggung Sean. "Kita udah temenan dari lama. Gue udah nganggep lo sebagai saudara gue sendiri."

Ella melipat kedua tangannya di depan dada. "Akhir-akhir ini lo berubah. Apa karena lo abis putus sama Evan? Lo terpuruk, jadinya enggak kuat cerita sama gue?" Ella mencengkram bahu Sean. Menatap pantulan dirinya dan Sean yang kini tengah menatapnya tanpa ekspresi di depan cermin. "Are you okey?" tanyanya.

Terkekeh pelan, Sean menatap manik mata biru Ella tajam. "Lo? Enggak sadar apa yang udah lo lakuin?" Bukannya menjawab, Ella justru mengelus pipi Sean pelan. "Gue enggak ngerti Sean." Gadis itu menangkup pipi Sean menggunakan telapak tangannya. "Gue bener-bener enggak paham apa yang lagi lo omongin."

"Berhenti bersikap menjijikkan. Gue enggak tahan!" Sean mendorong tubuh Ella lumayan kencang, hal itu membuat Ella terhuyung sedikit kebelakang.

Perlahan, selangkah demi selangkah Sean mengikis jarak antara dirinya dan Ella. "Lo bersikap seakan-akan enggak ngerti apa-apa? Sedangkan semua ini terjadi karena ulah lo! Kenapa? Lo tanya kenapa gue ngehindarin lo sekarang?" Sean menjeda perkataannya. "Karena ..., Gue enggak tahan sama sikap lo yang sok baik itu!"

"Sok enggak tau apa-apa!"

"Sok tulus berteman sama gue!"

"Padahal gue tau, Lo—" Sean menggantung kan kalimatnya. "Mengharapkan sesuatu dari hidup gue."

Mengepalkan kedua telapak tangannya erat, berbanding terbalik dengan Ella yang sedari tadi hanya menatap bingung dan tak mengerti ke arah Sean. "Lo ini kenapa sih?" tanyanya lirih.

Memijat pelipisnya pelan, Sean terus berusaha untuk mengontrol emosinya supaya tak lepas kendali. "Seharusnya gue yang nanya kaya gitu. Lo, Itu ... kenapa?" lirih Sean.

Sean, berjalan perlahan mengikis jarak diantara mereka berdua, menghampiri Ella yang juga melangkahkan kakinya kebelakang. Langkahnya pelan. Sean, menunjuk tepat ke arah wajah Ella. Kekehan kecil pun kembali keluar dari mulut Sean. "Kalau gue tau akhirnya kaya gini, seharusnya gue enggak nerima lo jadi temen gue. Seharusnya gue enggak diemin lo buat masuk dan seenaknya obrak-abrik kehidupan gue!" teriak Sean.

Sean's True Love [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang