21. Secarik kertas

149 26 98
                                    

Pagi ini Langga dan Lingga berangkat di temani Pak Nizam—supir pribadi Yesha—namun setelah mengambil motornya di bengkel, Lingga memutuskan untuk berangkat menggunakan motornya. Berakhirlah mereka menuju sekolah dengan Lingga yang mengikuti mobil Langga di belakangnya.

Langga menoleh kearah Lingga yang tengah melangkah mendekatinya setelah selesai memarkirkan motornya. "Ayo," Ajak Langga. Selama perjalanan menuju kelas, sesekali Langga melirik kearah kembarannya. "Tadi gue liat lo masukin susu coklat ke dalem tas. Bukannya lo nggak suka coklat, ya?" tanya Langga.

"Emang nggak suka."

"So? for whom?"

Lingga menghela nafas kasar. "No need to ask a lot," balasnya.

Langga terkekeh pelan, dirinya tau bahwa kini kembarannya menaruh perasaan lebih kepada Sean. "Lo tau? Awalnya gue suruh lo deketin Sean supaya lo bisa memahami, memahami kalau Mama, itu nggak seburuk apa yang lo pikirin. Tapi ... kalau lo punya perasaan lebih, it doesn't matter," ujar Langga yang di iringi kedipan mata mautnya.

Bukannya membalas, Lingga hanya melirik Langga sekilas. Terkekeh geli dengan respon sang kembaran, Langga memutuskan untuk berpamitan kepada Lingga. "Gue duluan ya, mau ke perpustakaan," pamitnya yang hanya di balas anggukkan oleh Lingga.

Berakhirlah kini dirinya berjalan seorang diri menuju kelas. Selama perjalanannya menuju kelas, seluruh tatapan memuja selalu tertuju padanya. Selain menjadi kembaran dari sosok yang terkenal genius dan pintar, Lingga juga terkenal tampan dan rupawan. Jika Langga terlihat lebih rapih dan cantik dengan bulu matanya yang lentik, maka Lingga sebaliknya, rambut yang sedikit urak-urakan dengan sorotan matanya yang tajam adalah pesona nya.

Tak ayal di sekolahnya dirinya sering mendapatkan bingkisan yang isinya entah surat ataupun kudapan manis seperti coklat bertengger di loker dan laci mejanya, yang tentunya selalu berakhir di tempat sampah. Berbanding terbalik dengan Langga yang selalu menghargai semua yang telah di berikan untuknya, sehingga membuat orang lain lebih suka memberinya secara terang-terangan.

Dari semua hal yang ia dapatkan, tak semuanya dapat membuat ia merasa begitu menyenangkan. Karena sebenarnya Lingga bukanlah orang yang ramah, juga bukan orang yang suka bergaul. Lingga selalu merasa risih setiap kali dimana ia berada akan selalu ada orang yang sok bersifat akrab dengannya. Karena Lingga tau, kebanyakan dari mereka tidak tulus dan hanya menumpang agar terlihat dekat dengan orang yang berwenang. Berpenampilan mewah dan menggertak yang lemah.

Dari banyaknya pasang mata yang menatapnya, tidak ada yang bisa menarik perhatian dirinya. Kecuali, dia ... Gadis manis yang tengah duduk di sebuah kursi panjang di sisi lapangan, sembari sibuk membolak-balikan lembaran buku, di temani dengan temannya yang terlihat tengah menatap jengah kelakuan gadis itu.

"Sean! Di baca bukan cuma di bolak-balik doang lembarannya!" geram Verie. Sebenarnya tujuan awal Sean itu meminta bantuan bimbingan Verie untuk ujian minggu depan. Tetapi sedari tadi hanya celotehan Verie yang dirinya dapatkan.

"Tapi gue ... Nggak ngerti-ngerti," balas Sean.

"Kayanya gue harus panggil Anza!" seru Verie. Belum sempat dirinya bangun, Sean sudah lebih dulu mencekal pergelangan tangannya.

"No! Nggak mau Anza! Anza kalau ngajarin melebihi guru killer seremnya," ucap Sean dengan wajahnya yang pucat pasi, mengingat betapa galaknya Anza ketika mengajari dirinya saat kelas X dulu.

Ketika Sean sibuk mengetuk-ngetuk kepala, berharap supaya materinya tidak hanya tersumbat pada pori-pori kepalanya. Tiba-tiba Lingga datang dengan senyumannya. "Hai," sapa Lingga yang kini berada di depan Sean.

"Hai?" gumam Verie dan Sean sembari saling tatap satu sama lain. Kedua gadis itu mengerutkan keningnya bingung. Bagaimana tidak bingung, selama mereka berteman, mereka tidak pernah melihat Lingga secara terang-terangan tersenyum tanpa alasan dan menyapa orang duluan.

Sean's True Love [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang