07. Kebohongan dari secarik kertas

297 186 503
                                    

Sudah seminggu sejak kejadian itu, Sean tetap menjalani hari-harinya seperti biasa, tetap terlihat tenang dan baik-baik saja, karena memang itu rencananya. Tetapi tidak di mata Anza dan juga Verie, yang sudah mencurigai dirinya sejak lama. Memang sekilas Sean bersikap seperti biasa, namun hal itu terlihat ganjil di mata mereka berdua. Anza dan Verie tak memaksa keras Sean untuk bercerita kepada mereka. Namun mereka berdua selalu siap jika kapan saja Sean membutuhkan bahu tuk bersandar, serta telinga untuk mendengar. Hal itu lah yang membuat persahabatan mereka semakin erat.

Kini Sean tengah berada di atas rooftop sekolahnya, sendiri. Tentunya tanpa teman, karena memang Sean sedang membutuhkan ketenangan. Hanya angin berhembus yang menerpa kulit, serta bisingnya para manusia yang tengah menjalankan aktivitasnya di bawah sana yang menyelamatkan Sean dari sebuah keheningan.

Waktu seakan-akan mempermainkannya, membuatnya serasa ingin kabur dari semua permasalahannya. Perasaan bimbang, dan gelisah menyapanya. "Hufftt...," Sean menghela nafasnya berat. Ia menunduk lemah.

"Ella."

Kesedihan merambat di setiap jengkal hatinya.

"Evan."

Bayangan-bayangan itu, terus menghantuinya.

"Gue harap kalian berjodoh. Dasar pasangan uler," gumamnya pelan.

Keputusan yang sudah ia pikirkan seminggu yang lalu, benar-benar menghantuinya. Dirinya bimbang, setiap kali ia berpapasan dengan Evan, dan setiap kali Evan tersenyum manis kepadanya, satu tangga keputusannya ... goyah.

"Cantik." Tubuh Sean membeku saat suara itu menyapa gendang telinganya. Hatinya berdesir saat lengan Evan melingkar erat di pinggangnya.

Sean mencoba untuk menghirup oksigen, yang entah mengapa di saat kehadiran Evan oksigen itu tersorot pergi begitu saja.

"Bisa singkirin tangan lo, ga?"

"Gue kangen," ucap Evan yang kini tengah menyembunyikan wajahnya di balik ceruk leher Sean.

Hati Sean berdesir menyakitkan.

Semarahnya Sean, sekecewanya Sean dan sebencinya Sean kepada Evan, Sean tidak akan pernah menolak pergi lelaki itu. Pertahanannya terlalu lemah jika itu bersangkutan dengan Evan. Bahkan jika Evan selalu meminta maaf padanya, dia akan selalu kembali. "Bunda, maafin Sean. Sean terlalu lemah jika itu tentang Evan," batinnya.

Evan memainkan rambut Sean. "Kalau aja rambut ini lebih panjang—"

"Kenapa? Emangnya kenapa kalau lebih panjang." Sean memotong perkataan Evan.

"Pasti lo makin cantik deh. Apalagi kalau...,"

"Kalau rambut gue pirang terus mata gue berubah jadi warna biru? Iya?" Sean berdecak pelan. Evan merenggut sebal karena Sean terus memotong ucapannya. "Bukan begitu tau," ucap Evan.

"Sesuka tuan muda Evan aja." Sean menoleh kebelakang, menatap manik mata kekasihnya. "Mending lo turun, hush hush."

"Kalau gue enggak mau?"

•••

"Sebenernya Sean kenapa ya," batin Verie khawatir, mengingat betapa anehnya sikap Sean akhir-akhir ini.

Sean's True Love [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang