23. Sosok misterius

141 24 52
                                    

Malam ini terasa begitu sunyi. Di langit yang kelam kini terdapat bulan yang terang benderang. Malam hari merupakan waktu yang pas untuk rehat dan merenungkan segala aktivitas yang telah dilalui sepanjang hari. Dengan begitu, pikiran dan jiwa bisa sekaligus introspeksi diri atas apa yang telah dilalui sepanjang hari.

Seperti sekarang, pada malam selarut ini, Sean masih belum bisa mengatupkan kedua matanya untuk beristirahat. Menengadahkan kepalanya ke atas, Sean menikmati dinginnya angin malam yang berhembus menyentuh permukaan kulitnya. Malam ini, Sean di buat banyak pikiran. Dimulai dirinya yang mendapatkan kertas lusuh berdarah, kedua orang tuanya masuk rumah sakit, belum sampai di situ, dirinya pun mengalami tabrak lari.

Pikirannya menerawang kemana-mana, apa benar ini semua ulah Evan seperti apa yang di katakan Verie sebelum pulang tadi. Tadi, setelah mengantarkannya, mereka semua menyempatkan diri untuk singgah di rumah Sean, menemani dan mengobati luka Sean hingga kedua orang tuanya datang. Mereka juga sempat membicarakan tentang kejadian aneh yang menimpa Sean akhir-akhir ini. Mereka semua yakin, bahwa kejadian ini semua saling bersangkutan.

Sean memijat keningnya pusing. "Dasar manusia, kesalahan orang lain terlihat jelas, giliran kesalahan gue sendiri nggak keliatan letak salahnya dimana," gumamnya.

"Oh ayolah Sean ... Lo abis ngapain. Nggak mungkin ini semua cuma kebetulan, kan?" Menggigit kuku jarinya resah. Bagaimana ini, Sean masih belum bisa menemukan jawabannya. Padahal kata Anza sebelum mereka pulang tadi, Sean hanya butuh merenung sejenak menikmati heningnya malam. Tapi nyatanya tidak semudah yang Sean pikirkan.

Semakin larut angin malam semakin menusuk, Sean memutuskan untuk kembali ke kamarnya.

Bugh!!

Belum sempat Sean melangkah pergi, Sean memutuskan untuk kembali keluar ke arah balkon, memastikan suara apa yang ia dengar tadi.

Sean menganga tak percaya ketika melihat pot bunga miliknya yang cantik hancur lebur, bercampur dengan tanah dan bunga hias miliknya berserakan di lantai, dengan sebuah batu yang di balut oleh kertas.

Segera Sean mengambil batu yang di balut kertas tersebut, kemudian memeriksa kertasnya.

"Apa maksudnya?" Meremat kertas tersebut erat, Sean memasukannya kedalam saku piyama tidur miliknya.

•••


Jam menunjukkan pukul 7 pagi, perdana bagi seorang Sean bangun pagi-pagi di hari libur seperti ini. Jika kalian lupa, Sean kan sudah berjanji untuk menjadi lebih baik, jadi hari ini dirinya akan pergi ke sebuah perpustakaan untuk mencari buku, kemudian mempelajarinya di rumah.

"Semangat Sean! Besok udah ujian, hari ini harus semangat belajar!" serunya sembari menatap pantulan dirinya di depan cermin.

Sesampainya di bawah, dirinya di suguhkan oleh pemandangan Ares yang sedang meminum kopi, dan Liya yang tengah menyiapkan peralatan makan untuk sarapan.

"Sini Bun, biar Sean yang bawa." Sean mengambil alih piring serta sendok kemudian ia tata di atas meja.

"Tadi Bunda liat soto di kulkas, Bunda angetin aja deh, kamu yang beli?" tanya Liya membuka percakapan.

"Iya, semalem Sean sempetin beli, biar paginya tinggal di angetin, jadi Bunda nggak perlu capek-capek masak lagi."

"Duh ... ternyata anak ini pengertian juga ya," ejek Ares sembari mengacak-acak rambut Sean sayang. "Kamu mau kemana? Pagi pagi gini udah rapih aja, biasanya juga bangun siang." Ares menerima seporsi soto dari Liya.

"Ayah ini, mau nanya atau ngejek sih?"

"Kalau bisa dua duanya, kenapa harus satu?" ujar Ares yang mengundang gelak tawa Liya, sedangkan Sean hanya bisa menatap jengah, mau di lawan pun bagaimana? Kenyataannya memang seperti itu.

Sean's True Love [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang