10. Hukuman

221 117 417
                                    

"Injek yang bener, terus lompat. Inget, sekali percobaan aja. Kalau gagal, gantian. Gue yang bakalan injek punggung lo."

"Iya iya, berisik deh. gue naik ya?" tanya Sean sembari berpegangan pada bahu kokoh Lingga.

Perlahan namun pasti, Sean mulai melompat dan meraih pagar raksasa itu sekuat tenaga, tentunya dengan bantuan Kalingga. Beberapa detik berlalu, akhirnya Sean berhasil berada di atas dengan selamat. Meskipun sedari tadi Lingga berteriak frustasi karena Sean selalu menginjak kepalanya. "Nah, sekarang pegang tangan gue. Sekarang gue yang bantuin lo naik ke atas sini." Sean mengulurkan tangannya melalui celah celah pagar.

"Apa?"

"Sekarang giliran lo naik, ayo pegang."  Sean mengulangi perkataannya.

"Terus ngebiarin lo jatuh lagi ke bawah sini? udahlah, lagi pula ga mungkin juga lo bisa ngangkat gue."

"Lho? Bukannya kita udah janji buat saling bantu kan?"

"Kalau emang lo mau bantu—" Lingga melemparkan ranselnya dan langsung di tangkap dengan baik oleh Sean. "Taro itu di kursi gue."

"Apa? Woi Lingga!" Sean berteriak ketika melihat Lingga pergi meninggalkannya.

"Aneh, terus sekarang dia mau kemana?"

Merasa cukup memandangi Lingga yang semakin menjauh, Sean turun dengan hati-hati agar tidak mendapatkan luka pada kulitnya. Setelah mendarat dengan baik ke tanah, Sean sedikit merapihkan seragamnya, kemudian ia memungut ransel Lingga yang sempat ia jatuhkan tadi.

Tap ...
Tap ...
Tap ...

Derap langkah Sean memelan ketika sudah menaiki lantai tiga dimana kelasnya berada. Sean mengerutkan keningnya bingung ketika tidak mendengar suara guru dari dalam kelasnya yang tertutup, tidak seperti kelas kelas yang baru saja dirinya lewati.

Bukannya masuk, Sean justru mematung ketika mengingat kejadian itu terputar kembali di kepalanya. Membuat Sean mengurungkan niatnya untuk masuk kelas. Gadis itu memutuskan untuk menetap sebentar sembari menatap nanar pintu besar itu. "kenapa mereka ngelakuin itu di kelas gue sih. Kan jadi ga mood masuk kelas," gumamnya.

Tanpa Sean sadari, tak jauh dari tempatnya kini Evan tengah memperhatikannya dengan tatapan bertanya tanya. Dengan langkah mengendap-endap, Evan tersenyum licik. "Asik nih, kerjain ah," batin Evan.

"BAA!!"

Sean yang tengah melamun otomatis terlonjak kaget kemudian terjatuh ke lantai. Suara benturan antara lututnya dengan lantai sekolah terdengar begitu nyaring. Ransel Lingga pun terlempar tak jauh dari tempatnya terjatuh. "Sshhtt," rintihnya

Sementara Evan hanya tertawa tanpa berniat untuk membantu. Laki-laki itu memegangi perutnya yang sedikit terasa keram akibat terlalu keras tertawa. "Lucu banget sih lo!" Evan menghapus air mata yang keluar dari sudut matanya. "Sayang banget cuma gue yang liat!"

Sedangkan Sean hanya menatap kekasih brengseknya itu tanpa berniat mengeluarkan satu kata pun. Bibirnya terkatup rapat, tak mengeluarkan omelan atau bahkan ocehan yang biasanya ia lakukan. Sedangkan Evan yang menyadari perubahan sikap Sean kepadanya, memutuskan untuk menyudahi acara tertawanya.

Namun, manik mata Evan terkunci ketika melihat apa yang Sean bawa. Laki-laki itu mengerutkan keningnya bingung, bukan kah itu ransel milik Lingga? Mengapa bisa Sean yang membawakannya? Jujur, banyak sekali pertanyaan yang menumpuk di kepalanya.

"Bukannya itu tas punya Lingga?" tanya Evan pada akhirnya.

Tak menjawab, Sean justru berniat pergi meninggalkan Evan. Belum sempat dirinya menyentuh kenop pintu, Evan lebih dulu mencekal pergelangan tangannya. Sean menoleh kearah Evan, berniat untuk protes, tetapi Sean di buat bungkam seribu bahasa ketika melihat perubahan ekspresi Evan yang lumayan cepat. Evan menatap Sean sendu, sedangkan Sean menatap Evan bingung. "Kenapa lo yang bawa?" Jujur, Evan benci, Evan tak suka, ketika kekasihnya tak merespon nya seperti ini.

Sean's True Love [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang