19. Kriteria idaman

141 32 148
                                    

Lingga masih duduk termenung menunggu kedatangan Sean kembali. Tetapi dirinya dibuat bingung oleh Evan yang justru melewati dirinya tanpa permisi, meninggalkan Sean yang kini tengah menangkupkan wajahnya, terlihat seperti tengah menangis. Lingga cemas, ingin rasanya dirinya menghampiri Sean dan bertanya apakah dirinya baik-baik saja. Namun, sedetik kemudian dirinya menggelengkan kepalanya kasar, berusaha menepis perasaan itu. "Kenapa jadi begini sih!" Lingga melipat kedua tangannya di depan dada. "Kenapa gue jadi masuk ke dalem drama mereka berdua dan merasa stres."

"Sebenernya ini perasaan kasian? Atau perasan familiar karena kisah hidup dia mirip kaya seseorang?" batinnya. Kembali Lingga menoleh ke arah Sean yang masih berdiam diri pada posisi awalnya tadi.

Mengetuk-ngetuk kakinya ke tanah, kening Lingga semakin mengkerut karena cemas. "Tsk to hell with hate, sympathy or something!" Akhirnya Lingga berlari menghampiri Sean.

Sementara itu di lain sisi, Sean menutupi seluruh wajahnya menggunakan telapak tangannya. Gadis itu, berusaha untuk menahan emosinya supaya tak meledak begitu saja. Berbagai umpatan dan caci maki keluar dari mulutnya. "Brengsek, laki-laki nggak ada yang waras dikit apa!" Sean memijat pelipisnya pelan, kemudian membuang nafas kasar. "Makan aja tuh Ella! berani beraninya dia balik lagi ke gue?"

Sean mengepalkan kedua tangannya di samping, beberapa detik setelahnya sesuatu yang hangat menyelimuti pergelangan tangannya. "Gue rasa, nangis sendirian di taman bermain bukan pilihan yang bagus," ujar Lingga.

Sean terdiam beberapa saat untuk mencerna situasi. "Eh? Mau kemana?" Sean kebingungan ketika Lingga mulai menuntunnya masuk ke dalam antrian untuk menaiki bianglala. "Mau nemenin lo nangis sepuasnya," balas Lingga enteng.

"Apa? Sepuasnya?" Sean mengerutkan keningnya bingung. "Gue nggak nangis!" sentaknya.

"Baguslah kalau begitu." Lingga mengulum senyumannya tipis, laki-laki itu menarik pelan lengan Sean supaya gadis itu segera naik. "Naik, Sean."

Malas berdebat, akhirnya Sean mengikuti perintah Lingga. Di saat mereka sudah memasuki bianglala, kini keduanya duduk saling berhadapan.

Lingga menatap lurus ke depan dalam diam, sementara Sean merenggut kesal sembari melipatkan kedua tangannya di depan dada. Sean membuang nafas kasar, kedatangan Evan tadi, hanya membuat moodnya rusak. Gadis itu membuang muka, lebih memilih untuk melihat pemandangan dari samping jendelanya.

"Cantik," ucap Lingga tiba-tiba. Sean mengerutkan keningnya bingung, sedetik kemudian dirinya tersenyum bangga. "Oh ... Gue? Jelas, gue eman—"

"Geser, pemandangan cantik di belakang lo ketutupan jadinya." Lingga memotong perkataan Sean, hal itu mampu membuat Sean menggeram kesal. Bukannya menggeser, Sean justru menatap sengit manik mata Lingga. Semakin lama mereka bertatapan, kini Sean terjebak, gadis itu terkunci oleh tatapan Lingga yang tajam seperti elang, tetapi lembut jika Sean rasakan. Lingga menatap dalam manik mata Sean penuh arti. Tanpa dirinya sadari, pipinya kini mulai merona.

Rasa kasihan ataupun simpati. Ternyata alasannya tidaklah penting saat ini. Yang terpenting adalah ...

"Gue kalah. Perasaan benci ini, udah luntur."

•••

Dari gelapnya langit dan gemuruh yang saling bersahutan, serta semilir angin yang terasa lebih segar, sudah di pastikan hujan akan segera turun. Melihat situasi yang kurang mendukung, Sean dan Lingga memutuskan untuk segera pulang.

Rintik gerimis mulai terasa, semakin lama juga semakin deras turunnya. Di perjalanan Lingga sempat menawarkan kepada Sean. "MAU NEDUH DULU?" teriaknya.

"NGGAK USAH, MALES. NANTI KAYA ADEGAN FTV LAGI!"

Setelah mendapat jawaban dari Sean, Lingga hanya menganggukkan kepala sekilas. Kembali dirinya menancapkan gas lebih kencang, menembus jalanan malam dengan guyuran hujan yang semakin deras di ibu kota.

Sean's True Love [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang