𑁍; Albedo

2.1K 151 44
                                    

The Way it Hurts.

Tags: romance, angst with sad ending, hurt no comfort

Warning: mungkin akan mengingatkan sedikit trauma pembaca pada kejadian masa lalu tak diinginkan. TW: major character death, mention of suic!de and rap3.

─────┈ ୨

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


─────┈ ୨ ..𖣔.. ୧ ┈─────

Sore Hari ini pantai entah bagaimana terasa lebih sepi dari biasanya, dan Albedo jadi sedikit merasa beruntung karena keramaian tidak akan membuat lukisannya cepat selesai. Lukisan yang akan menjadi portofolionya ini harus selesai setidaknya dalam waktu dua sampai empat minggu sebelum penilaian. Untungnya, sore ini semesta seperti mendukungnya untuk lekas selesaikan lukisan sederhana itu.

Karena kondisi sepi inilah, beberapa orang yang ada disana pun sepertinya terlihat jelas karena tak tertutup keramaian. Salah satunya adalah seorang gadis dengan rok selutut berwarna putih yang berjalan di bibir pantai tanpa alas kaki. Albedo pikir, sosoknya akan melengkapi kesan kesepian yang disampaikan oleh lukisannya. Jadi, ia mengumpulkan niat untuk meminta ijin pada gadis itu karena pasti tidak sopan mengabadikan seseorang dalam sebuah lukisan tanpa seijin orang itu.

Albedo meninggalkan easel beserta kanvas, cat akrilik, dan paletnya di tempat. Yakin benar tak akan ada orang yang nekat mencuri barang-barang itu. Toh, sekarang kondisi pantai teramat sepi, jika ada yang mencurinya, Albedo pasti bisa melihatnya karena siapa sih orang bodoh uang nekat mencuri easel dan kanvas yang ukurannya tidak kecil?

Semakin ia memangkas jarak, semakin Albedo menyadarinya. Lekuk wajah halus si gadis rupanya lebih dari sekedar pantas untuk dilabeli jelita, tubuhnya kecil nan kurus sampai-sampai Albedo bertanya-tanya kemana perginya nutrisi makanan yang ia makan, surai panjangnya diterbangkan oleh angin kencang. Lalu ada satu hal yang sebenarnya Albedo harap tak akan ia dapati dari gadis itu. Sayangnya, gaun putihnya adalah pakaian dengan lengan pendek, jadi Albedo jelas bisa menemukannya.

Menemukan jejak memar ungu kemerahan di salah satu lengannya.

Tetapi Albedo tak akan bertanya apapun. Itu urusan orang lain, lagipula sangat tidak sopan jika di pertemuan pertama mereka Albedo malah bertanya tentang darimana memar itu berasal.

Gadis itu adalah kamu.

"Permisi, bisa kita mengobrol sejenak?"

Si gadis mengangkat alis karena terkejut, "tentu, apa yang ingin kamu sampaikan?"

Oh, Dewa. Albedo mungkin berani untuk bersumpah jika desibel seindah ini mungkin saja bisa buat orang-orang jatuh hati begitu cepat. Karena saat ia mendengar suara itu pun, jantungnya terasa berdesir.

"Bisakah aku memasukkan siluetmu dalam lukisanku? Kamu terlihat indah saat sedang berjalan-jalan di bibir pantai," ujarnya terus terang. Sesungguhnya, ia takut bahwa kamu bisa saja menolak permintaannya karena merasa risih, tetapi untungnya kamu malah membalas dengan sebuah senyum cerah.

Kamu berkata, "aku tidak keberatan. Tetapi sebagai gantinya, bisakah kamu membiarkan aku melihat proses dan hasil akhirnya?"

Albedo memang terlihat sedang berpikir untuk sejenak, tetapi ketahuilah bahwa ia sedang berpikir bahwa ini kesempatan bagus. Artinya, ia bisa bertemu denganmu lagi setelah ini. Jadi ia segera mengangguk, "tentu saja. Mari bertemu di waktu yang sama mulai esok hari."

Kamu mengangguk, masih menunjukkan senyumanmu padanya. Kamu pikir obrolan kalian hari ini hanya akan sampai disini, tetapi setelahnya ia buka suara lagi.

"Sebelum itu, biasakan aku tahu namamu?"


Begitu sampai di rumah, Albedo kelabakan. Ia segera meletakkan easel beserta kanvas dan alat-alat lukisnya di sembarang tempat, melangkah menuju meja belajarnya untuk mengambil sebuah pensil dan buku sketsanya. Membawa alat-alat itu menari dan menghasilkan goresan-goresan yang berubah menjadi sebuah karya.

Gambar ini harus lekas selesai sebelum ingatannya memudar dan detail yang ia perhatikan menghilang dari kepalanya. Ia harus lekas menyelesaikan gambarnya sebelum keindahan senyumanku perlahan-lahan mengabur di kepalanya dan ia lupa bagaimana senyum itu tersemat begitu indah di wajah cantikmu. Begitu lukisannya selesai, ia bisa bernafas lega.

Meletakkan kembali pensilnya lalu mengangkat buku sketsa itu untuk dipandang sekali lagi gambar dari sosokmu yang tengah tersenyum pada sore hari itu. Ini gila. Padahal kamu baru ia kenal sore itu, tetapi semudah inikah kamu menjadi alasan lain untuknya terus menggambar?

***

Dengan langkah gontai, Albedo melintasi kerumunan tanpa memperdulikan bilamana orang-orang menatap miris dan kebingungan pada dirinya. Menghiraukan apa saja yang kira-kira muncul di kepala orang-orang tentang pemuda tampan yang berjalan melintasi hujan dengan pakaian duka, berjalan seperti tak tentu arah padahal ia tengah menuju rumahnya sendiri. Persetan dengan semuanya, ia hanya ingin cepat-cepat sampai rumah lalu tertidur untuk sejenak melupakan realita.

Tetapi begitu sampai di rumah dengan kondisi pakaian basah, Albedo malah ditampar kembali oleh realita. Padahal itu rumahnya, tetapi malah lukisan dan sketsa gambar wajahmu lah yang hampir memenuhi dinding kamarnya. Memasuki kamarnya bukan seperti kamar tidurnya, tetapi Albedo seperti memasuki duniamu.

Dunia seorang gadis rapuh yang memilih tuk temui leksikal menyerah dibanding terus dampingi Albedo sedikit lebih lama. Duniamu. Sayangnya, kamu sudah menjadi dunianya. Tapi sekarang bagaimana? Dunianya sudah hirap, memudar oleh waktu.

Ia mendudukkan diri di kursi meja belajarnya, menatap kosong sketsa wajahmu yang tersenyum riang, baru digambar seminggu lalu dengan tatapan kosong. Kemudian tiba-tiba saja, air matanya mengalir. Albedo meringis, bangkit dari duduknya lalu menghadap dinding untuk melampiaskan semua emosi dalam dirinya.

Semua emosi yang sebelumnya tertutupi dengan baik mendadak menyeruak, menghantam bagai ombak yang membuatnya secara tanpa sadar memukuli dinding tak bersalah sembari memekik tak tahan. Tinggalkan jejak darah di dinding dan sedikit retakan pada lapisan luarnya. Albedo seolah hilang akal. Segala hal ia sesali, ia sayangkan.

Andai saja kamu bertemu dengannya enam bulan lebih awal. Andai saja ia selama ini lebih memperhatikanmu. Andai saja selama ini ia tahu bahwa luka-luka di tubuhmu bukan karna kecerobohanmu. Andai saja ia bisa membawamu lari sejak pertama kalian bertemu.

Maka kamu tidak akan pernah meregang nyawa karena meneguk racun usai menyadari bahwa dalam perutmu ada bayi yang tengah tumbuh disana. Kamu juga tak akan pernah stress memikirkan bagaimana caramu menjelaskan pada bayi ini nantinya bahwa ayahnya adalah ayah tiri dari ibunya sendiri? Bagaimana?

Lalu seperti itulah. Dunia memang suka bercanda sementara kamu berfikir candaannya terlalu menyiksa. Sehingga pada akhirnya ragamu ditemukan tak bernyawa di rumahmu sendiri dalam keadaan terbujur kaku.

Albedo hanya bisa berandai-andai, menyesali apa yang bukan merupakan kesalahannya.

─────┈ ୨ ..𖣔.. ୧ ┈─────

Haii, aku balik nih, hehe. Tapi maaf banget, masih gabisa buat ngetik request kalian, aku hectic banget huhuhu.

See you! <3

Who's next?

✧ 𝐄𝐭𝐡𝐞𝐫𝐞𝐚𝐥 ⋮⋮ Genshin Impact Fanfictions✧Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang