Zea mengamati kamar barunya, dia kira kamar ini akan penuh dengan foto keluarganya meski tanpa dirinya. Tapi ternyata Zea salah, dinding kamarnya polos tanpa ada yang menempeli.
Zea merebahkan tubuhnya, matanya memandang langit-langit kamarnya. "Z, gue gak tahu bakal bersikap kayak gimana kedepannya. Jika nanti gue memaafkan mereka, itu tandanya mereka memang pantas."
"Gue berharap lo bahagia selalu disana, lupain keluarga lo yang disini. Cukup fokus sama apa yang ada di depan mata lo aja, jangan biarin pikiran lo berkelana."
Tok... tok... tok...
"Z, kamu ada didalam?" teriak seseorang dari luar, entah siapa. Tapi yang pasti dari suaranya dia laki-laki.
Dia masih belum mengenali orang-orang yang ada di rumah ini. Mau tak mau Zea beranjak dari kasur, dia membuka pintu kamarnya. Ternyata, Bima.
Zea mengangkat alisnya sebelah, "apa?"
Bima tersenyum, akhirnya dia bisa mendengar suara anaknya lagi. Tanpa menyembunyikan rasa bahagianya Bima berkata. "Turun dulu yuk sayang. Bunda udah masak makanan kesukaan kamu."
"Emang kalian tahu makanan kesukaan aku?"
Bima terdiam, dia memang tidak tahu. Tapi pelayan rumahnya mengatakan jika Zea sangat menyukai udang. "Kamu suka udang Kan?"
Zea mendengus, "ternyata kalian masih tetap asing buat aku. Aku emang suka udang, tapi itu bukan makanan kesukaan aku."
Bima tidak tahu harus berkata apa, karena selama ini yang dia tahu hanya mencaci maki. "Emh maaf, ayah gak tahu kalau udang bukan makanan kesukaan kamu."
"Iyalah, kalian kan cuman tahu makanan kesukaan anak kesayangan kalian aja."
Setelah mengatakan kalimat itu, Zea langsung meninggalkan Bima yang terpaku di depan pintu.
Zea tidak peduli dengan hati pria paruh baya itu, karena niat dia menggantikan posisi Zea bukan untuk memaafkan mereka. Tapi membuat mereka merasakan apa yang selama ini Zea rasakan.
"Baru segini aja dia udah kayak gitu, gimana kalau gue mengeluarkan semuanya. Skakmat kayaknya."
Sesampainya di meja makan, Zea memang melihat hampir semua menu makan siang adalah udang.
Tanpa menyapa ibu dan abangnya, Zea langsung duduk ditempatnya.
"Mau makan apa, Z? Biar bunda ambilkan." tanya Sandra.
Zea menoleh, menatap Sandra yang juga sedang menatapnya. Dia bingung, setahunya Sandra tidak tahu menahu perilaku keluarga Alexander padanya.
Zea tersenyum misterius, akan dia buat keluarga ini merasakan semua yang pernah dia alami. Tidak peduli apapun yang akan terjadi kedepannya, bukan sekarang waktu untuk memikirkannya.
"Z mau udang asam manis bun."
Sandra tersenyum, kemudian mengambil apa yang Zea minta. "Nih, makan yang banyak ya."
Sean menatap interaksi keduanya, sejujurnya dia iri. Kenapa Zea tidak ikut mendiamkan bundanya. Bukannya apa, Zea kan tidak tahu jika yang selama ini bukan bunda yang asli.
Tapi kenapa seakan dia sudah tahu, dan bersikap biasa saja dengan bundanya.
"Sean, panggil ayah gih. Dia bunda suruh panggil Zea malah gak ikut turun." perintah Sandra.
Sean mengangguk, saat akan beranjak dari kursinya. Bima turun dari lantai dua.
"Gak usah dipanggil, ayah udah turun kok." kata Bima.
"Kenapa gak ikut turun bareng Zea?"
Bima tersenyum menatap Zea yang bahkan enggan untuk menatapnya. "Sekretaris aku barusan ngirim kerjaan lewat email, jadi aku lihat dulu. Makanya turunnya gak bareng sama Zea."
KAMU SEDANG MEMBACA
Extra Love Story
Historical FictionTransmigrasi series ~ 2 •••••• Zea Andara Alexander, putri bungsu keluarga Alexander yang tidak pernah di anggap. Zea berpura-pura lemah di depan keluarganya hanya karena ingin di perhatikan, tapi mereka semua malah semakin membencinya. Sampai kejad...