Takdir (1)

2.5K 205 32
                                        

Si kecil Seulgi sedang berkeliaran di lorong rumah sakit. Mata sipitnya merekam setiap pergerakan yang terjadi. Senyum manisnnya merekah, rambutnya ikut bergerak seiring dengan langkahnya yang seperti melompat. Dia tiba-tiba berhenti di depan salah satu kamar pasien karena dia mendengar ada suara tangisan dari dalam sana. Seulgi penasaran dan ingin mencari tahu, lalu tangan mungil yang gembil mendorong pintu yang sudah sedikit terbuka itu.

Dia melihat anak kecil sedang duduk di atas tempat tidur pasien, rambutnya hitam dan panjang. Tangan kanannya dibebat dan sepertinya dipasang gips juga, sementara tangan kirinya digunakan untuk menghapus air mata yang terus mengalir di pipinya. Anak kecil itu tidak menyadari kehadiran Seulgi.

"Hei, kamu kenapa nangis?" Seulgi bertanya dan melangkah mendekati anak kecil itu.

Anak kecil yang sedang menangis itu terkejut melihat Seulgi. Matanya yang besar dan berwarna coklat menatap Seulgi dari atas sampai bawah, menilainya dengan seksama. "Aku..." Dia kembali menangis. "Aku sendirian." Ungkapnya sambil terisak. Kesedihan terlihat jelas. Tangisnya sampai membuat tubuhnya gemetar. Dia tidak habis pikir mengapa nasibnya sangat buruk sekali.

Si kecil Seulgi menatapnya penuh tanda tanya. Dia tidak mengerti apa yang diucapkan gadis cilik itu. Mengapa dia merasa sendiri? Di mana orang tuanya, keluarganya? "Kamu kenapa? Orang tuamu di mana?"

"Kita..." Dia berhenti, isak tangis kembali terdengar sebelum dia menyelesaikan kalimatnya. "Kecelakaan." Sungguh masih terasa sulit untuk mengucapkannya, untuk menerima kenyataan pahit itu. Tiga hari yang lalu hidupnya masih sempurna, lalu tiba-tiba semuanya berubah jadi neraka.

Seulgi terdiam selama beberapa saat, kemudian dia melangkah semakin mendekat. "Jangan nangis." Dia naik ke atas tempat tidur pasien, duduk di sebelah gadis cilik itu, lalu memeluknya. Dia melakukan apa yang Ayahnya lakukan saat dia bersedih. Sebuah pelukan pasti akan membuat siapa pun merasa jadi lebih baik. "Jangan nangis." Ucap Seulgi lagi, menenangkannya.

Setelah beberapa menit berlalu, isak tangisnya sudah mereda. Gadis cilik itu memisahkan diri dari pelukan Seulgi dan kembali menatapnya. "Kamu kenapa di sini?" Dia bertanya heran, sebab si gadis sipit itu tidak terlihat seperti sedang sakit, jadi kenapa dia berada di rumah sakit?

"Oh..." Seulgi memberikan cengiran lucu, "Aku abis diperiksa di sini." Dia menunjuk ke dadanya. "Kata Bunda, aku punya lobang kecil jadi harus ditambal." Dia tertawa riang. "Namaku Seulgi. Nama kamu siapa?"

"Joohyun," Jawabnya.

"Umurmu berapa?"

"Tujuh tahun, kamu?"

"Enam. Aku mau masuk sekolah dasar besok!"

"Oh, ya? Aku udah naik kelas dua."

"Kita bisa sekolah bareng!" Ujar Seulgi antusias.

"Nggak bisa." Joohyun mendadak menjadi sedih lagi. "Aku bahkan nggak tau harus pulang ke mana. Aku udah nggak punya siapa-siapa. Papa, Mama, sama Kakakku meninggal semua." Dia terisak lagi. "Apa aku bakal tinggal di rumah sakit selamanya? Aku nggak mau!"

"Kamu nggak punya Kakek sama Nenek?" Tanya Seulgi. Dia ingat, jika orang tuanya bepergian, mereka selalu menitipkannya di rumah Kakek dan Neneknya.

"Nggak. Aku bener-bener sendiri."

"Ya udah, jangan nangis lagi." Seulgi meraih tangan Joohyun, kemudian menggenggamnya. "Siapa tau kamu bisa jadi kaya Kevin yang di Home Alone itu loh. Kan seru bisa bebas main di rumah kalo sendirian!"

"Itu kan cuma film." Cibir Joohyun.

"Ya emang, jadi kamu kan nggak perlu takut ada orang jahat." Seulgi tersenyum lebar, membuat pipi gembilnya semakin mencuat menggemaskan. "Tangan kamu sakit banget, ya?"

Us against the worldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang