Bagian 20

1.2K 155 4
                                    

Hidup hanya sekali namun Kara merasa telah hidup dua kali. Terlebih itu di dunia yang berbeda. Takdir semacam apa yang membuat dirinya seperti ini. Apalagi Kara menjalani kehidupan yang seakan tidak masuk akal. Dunia yang dianggap sebagai hanya imajinasi dari sang penulis. Kara rasanya ingin berteriak kepada penulis yang telah membuat dirinya masuk dan menjalani kehidupan disini

Tunggu...Kara menyadari sesuatu. Kara Andhira, sang karakter utama. Apakah semua ini kebetulan? Bagaimana bisa nama aslinya sama persis dengan di dunia novel. Dan juga Vanya Ofelia, kakak kelasnya itu juga memiliki nama yang sama. Mungkinkah takdir menarik orang yang memiliki nama yang sama? Untuk dikatakan sebagai sebuah kebetulan, hal ini sedikit aneh

Penulis juga seakan enggan memberikannya petunjuk. Hei, tidak mungkin Kara akan berada di sini seumur hidupnya. Entah bagaimana kabar dirinya di dunia nyata namun Kara yakin dirinya masih hidup. Mungkin sedang tidur panjang karena dirinya disini. Seingatnya, Kara tertidur di tempat tidur sebelum dirinya memasuki dunia imajinasi ini dan sudah beberapa minggu waktu yang terlewat. Untuk pertama kalinya Kara berharap ada yang menemukannya walaupun hal itu mustahil. Tidak ada keluarga ataupun teman. Kara yang menyedihkan

"Apa yang sedang kau lukis, Kara? Bisakah kau menjelaskan artinya?"

Kara tidak fokus. Saat ini adalah jam pelajaran seni dan masih di topik yang sama, seni lukis. Pak Adnan menjadikan taman sekolah sebagai tempat pembelajaran kali ini. Mungkin Pak Adnan mengerti akan keinginan siswa yang terkadang merasa bosan yang selalu terkurung dalam ruangan

Kara menatap lukisannya. Kara sendiri bingung apa yang telah dibuatnya. Kara terlalu sibuk dengan pikirannya yang sedang meratapi kehidupannya di dunia nyata. Dunia nyata? Kara menatap kembali lukisannya. Sebuah ide terlintas di pikiran Kara

Kara bersyukur Pak Adnan tidak banyak bertanya. Padahal Kara hanya mengada-ada tentang arti lukisannya namun Pak Adnan menanggapinya serius. Beruntung Pak Adnan tidak menyadari jika dirinya tadi sempat tidak fokus di saat pembelajaran

"Boleh aku mengambil lukisanmu, Kara? Jangan lupa sertakan namamu di bawah lukisan"

Kara mengangguk menyetujui permintaan Pak Adnan. Walau sebenarnya Kara ingin menanyakan alasan Pak Adnan ingin mengambil lukisannya namun Kara tidak berani. Tidak seperti biasanya bagi Kara. Pak Adnan tidak pernah mengambil hasil karya para siswa ataupun memintanya menyimpannya di sekolah. Pak Adnan akan membiarkan mereka membawanya pulang karyanya. Mungkin untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan

Jam pelajaran seni telah berakhir dan hal yang paling ditunggu Kara adalah jam istirahat telah dimulai. Kantin akan menjadi tujuan utama Kara karena perutnya sudah mulai konser. Padahal Kara sarapan pagi tadi namun dirinya masih tetap saja cepat lapar. Mungkin karena kebanyakan berpikir mempengaruhi kerja lambung. Tapi apa hubungannya? Otak Kara memang terkadang agak geser. Jadi maklum saja

"Batagor sama es teh yah bu"

"Batagornya sudah habis dek"

"Kalau begitu mie goreng saja bu"

Padahal Kara ingin sekali makan batagor namun sepertinya takdir tidak memihak padanya. Kara membawa makanannya dan duduk di meja yang kosong. Kara mendongak begitu menyadari ada yang menarik kursi di depannya. Oh tidak, kenapa pula laki-laki itu harus duduk satu meja dengan Kara. Terlebih duduk berhadapan dengan Kara

"Makanlah"

"Ya?" Kara melongo seperti orang bodoh. Telinganya sedang tidak salah menangkap, bukan?

"Bukankah kau menginginkan itu? Kau terlihat kecewa tadi"

Kara merasa tidak terlalu memperlihatkan ekspresinya. Bagaimana mungkin kakak kelasnya itu mengetahui jika Kara menginginkan makanan itu padahal laki-laki itu tidak disana. Tidak mungkin laki-laki itu memperhatikannya. Tidak mungkin

KarakterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang