Bagian 23

920 109 0
                                    

Tiga hari terasa begitu lama bagi Kara ketika berada di rumah sakit. Jika tiga hari itu digunakan untuk liburan akan dianggap sebentar. Setelah melalui perdebatan dan juga desakan dari Kara, Radit dan juga Karan akhirnya membawa Kara pulang. Hal itu tentu juga bisa terjadi atas persetujuan dari Arlo, dokter yang menangani Kara

Kara merebahkan diri di kasur miliknya. Kasurnya terasa dingin karena beberapa hari tidak ditempati oleh pemiliknya. Bahkan kasur pun tidak merasakan kehangatan tanpa si pemilik. Seperti hati yang telah ditinggalkan dan menimbulkan luka. Kara lagi-lagi berpikiran random. Otaknya seperti tidak bisa diajak berkompromi untuk tenang sedikit saja

Cahaya bulan mengintip dari jendela menarik Kara untuk melihatnya. Bulan purnama yang terlihat begitu sempurna berada di atas sana bersama bintang yang selalu setia menemaninya

"Apa kabar tubuhku disana? Kau baik-baik saja? Jika angin bisa menyampaikan maka kumohon bertahanlah. Aku masih ingin hidup" Kara bergumam kecil berharap angin bisa menyampaikan perkataannya kepada dirinya disana. Kehidupan nyata Kara

"Kara. Kau belum tidur? Jangan tidur terlalu larut malam" Suara ketukan pintu dan juga suara Radit dari luar kamar membuyarkan lamunan Kara

"Iya kak. Aku akan segera tidur"

Kara menurut untuk segera tidur. Kara mematikan lampu kamarnya dan membaringkan dirinya di kasur. Kara merasa dirinya akhir-akhir ini mudah untuk tertidur. Mungkin karena adanya efek dari obat yang dikonsumsinya

Kara sudah berkelana di alam mimpi. Entah hal apa yang dimimpikan oleh Kara hingga terlihat sebuah senyuman tipis yang terbentuk di bibirnya

Pintu kamar Kara terbuka memperlihatkan sosok Karan disana. Karan melangkah dan mendekati Kara dengan hati-hati agar tidak membangunkan adik sepupunya itu

"Pasti berat untukmu. Kau begitu pintar menasehati orang akan tetapi untuk dirimu sendiri kau tidak bisa. Sebenarnya kau ini menganggap kami apa? Kau selalu mementingkan perasaan orang lain dibandingkan perasaanmu sendiri. Kau menanggung semuanya sendiri dan memperlihatkan jika dirimu selalu baik-baik saja. Aku benci diriku yang tidak mengetahui apapun tentangmu"

Karan mengusap rambut Kara dengan lembut. Sangat jelas terlihat sorot kesedihan dalam manik mata milik Karan. Karan mencium kening Kara dan bergegas keluar

Mata Kara perlahan terbuka. Kara menatap ke arah pintu seraya menghela nafas. Kara tadinya sudah tertidur namun terusik saat mendengar pintu terbuka. Kara ingin membuka mata saat itu namun tubuhnya seakan tidak bisa diajak berkompromi hingga Kara memilih untuk berpura-pura. Kara tidak mengira Karan akan mengatakan hal seperti itu kepada dirinya. Kara jadi merasa bersalah karena telah membuat mereka khawatir

"Maaf kak. Aku juga tidak ingin membebani kalian. Namun aku tidak sekuat itu. Hingga tiba saatnya. Sama seperti kalian. Aku juga akan berpura-pura"

Kara merasa asing dengan sekitarnya. Perasaan Kara tadinya sedang tertidur. Bagaimana Kara bisa berada di tempat yang asing ini? Kara tidak berpindah dunia lagi kan? Jika kembali ke dunianya, Kara akan sangat merasa senang namun bukan hal itu yang sedang terjadi. Kara malah berada di tempat asing dimana di sekelilingnya hanya ada hamparan rumput disertai suara tiupan angin yang begitu jelas terdengar di telinga karena suasana yang begitu sepi. Bahkan seakan tidak ada kehidupan manusia di sekitarnya. Jika mimpi namun kenapa terasa begitu nyata?

"Hai. Akhirnya aku bisa bertemu denganmu"

Kara berbalik dan terkejut melihat sosok yang sedang berdiri di hadapannya. Kara seakan sedang bercermin. Menatap sosok itu dengan intens tanpa sedikitpun berpaling. Kara seperti memiliki saudara kembar

"Kau pasti merasa bingung kenapa aku begitu mirip denganmu. Karena aku adalah penciptaan dari sosokmu yang nyata. Penulis membuat para karakter berdasarkan dari kehidupan nyata namun tidak juga sepenuhnya"

KarakterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang