2

1.1K 89 0
                                    

"Ci? Udah mau ujan, ayo pulang."

Suara lembut yang memanggil Shani dari belakang lagi-lagi tidak dihiraukan oleh sang pemilik nama. Dengan hoodie warna hitam dan kacamata yang senada, Shani masih betah duduk di sebuah makam yang berada di tengah dari jajaran batu nisan yang serupa.

Melihat Shani yang masih betah disini, Gracia menoleh ke belakang dimana terdapat banyak gadis yang berjajar menunggui mereka.

"Jinan, ajak adik-adikmu pulang, ya? Aku mau nemenin Ci Shani dulu disini." Gracia mengulurkan sebuah kunci mobil pada gadis dengan rambut panjang nan indah di belakangnya, "bawa aja mobilnya. Pelan-pelan, ok?"

"Iya." Gadis itu berlalu, bersama yang lain keluar dari pemakaman.

"Udah dua tahun, Ge. Mereka pergi gitu aja tanpa pamit ke kita," gumam Shani, Gracia berjongkok disamping gadis itu dan memegangi pahanya yang terbalut kain levis biru dongker.

"Mereka ga berniat buat pergi, Ci. Mereka berniat untuk kembali ke kita tapi takdir berkata lain."

Shani mengiyakan dalam hati. Hal terakhir yang ia ingat adalah malam itu Kinal mengusap rambutnya sebelum pergi, "jaga adik-adikmu, ya, Shan?" Kalimat itu adalah kalimat wajib dari Kinal sebelum ia pergi kemanapun. Tapi Shani tidak menyangka Kinal dan kakak-kakaknya yang lain akan pergi sejauh ini.

"Kak Kinal, Kak Ve, Kak Viny, Kak Lidya, Kak Beby, semua pergi, Ge. Mereka ga bilang bakal pergi selamanya, kenapa mereka langgar janji mereka sendiri?"

Gracia bisa merasakan jika sebenarnya Shani masih tidak terima dengan kematian mereka. Tapi mau bagaimanapun, takdir pasti seperti ini tidak bisa di ganggu gugat.

"Ayo pulang, Ci. Ada hal yang perlu kita urus setelah ini."

Di kediaman mereka, Shani langsung masuk ke ruang rahasia yang selama ini hanya boleh dimasuki oleh ia dan Gre. Sementara Gracia menyempatkan diri untuk pergi ke dapur dan membuat omelet untuk makan siang.

Melihat gadis itu yang tengah sibuk, Jinan menghampiri Gracia dan memecahkan kembali dua telur ke dalam mangkuk, menambah sayuran, sosis, dan bumbu disana lalu mengaduknya. Sementara Gracia sibuk dengan teflon di kompor.

Meski dari luar Jinan terkesan dingin dan cuek, tapi hatinya tidak lebih dari sebuah permen kapas yang manis dan lembut. Selain Gracia dan Shani juga, Jinan lah yang paling bisa diandalkan.

Kegiatan itu terus mereka ulang sampai omelet itu terkumpul cukup banyak.

"Ayo makan." Jinan menatap satu persatu dari adik-adiknya yang tengah sibuk dengan urusannya masing-masing.

Adel dan Ashel yang tengah duduk berdua di sofa, Zee dan Marsha duduk di karpet bawahnya dengan PlayStation yang mereka mainkan, Chika dan Ara yang sibuk bermain dengan kucing Zee, dan Dey yang sudah pasti tidur di mana saja yang ia mau.

Mereka mendengar Jinan dalam sekali panggilan, dan tanpa menunggu dipanggil dua kali, gadis-gadis itu merapat ke meja makan kecuali Dey yang harus digotong Zee dan Ara.

"Kalian makan dulu, ya?" Gracia berlalu sambil mengusap rambut Ashel. Sudah seperti ini sejak dua tahun terakhir, Shani dan Gracia jarang makan bersama adik-adiknya meski waktu mereka cukup luang untuk hal sekecil itu.

Tapi mereka tidak ambil pusing, yang mereka tahu Gracia dan Shani tengah sibuk mengurus semua hal setelah semua kakaknya meninggal.

Dan siang itu, mereka makan dengan tenang setelah Jinan memimpin do'a.

* * *

"Ci? Baca jurnal itu lagi?" tanya Gracia ketika dia mengunci kembali pintu besi yang baru ia buka untuk masuk ke dalam ruangan itu. Matanya sekilas melihat Shani yang duduk di meja yang penuh oleh kertas dan sebuah jurnal setebal 400 halaman ia baca.

"Aku rasa Kak Viny bukan cuma bikin ini as a journal, Ge." Gracia mendekat dan duduk di samping Shani dengan mata yang terfokus pada buku itu.

"Selain nyebut Kak Ve sebagai partnernya untuk project ini, Kak Viny juga berkali-kali nyebut aku sama kamu. Bahkan ia memuji Jinan yang menurutnya pantas menjadi pengganti Kak Kinal sebagai pemimpin di masa depan karena kemampuannya." Shani menunjuk beberapa bagian di jurnal itu dimana nama Jinan tertulis, "Ci, aku udah baca jurnal Kak Viny ini lebih dari 15 kali dalam dua tahun. And just in case you missed it, Kak Viny bahkan nulis kekagumannya sama Dey yang bisa tidur dimana aja dia mau. Padahal kan dia cuma pelor, ya?"

Shani menatap Gracia dengan tatapan serius, tidak ingin tertawa karena candaan Gre walau memang benar adanya Viny menulis Dey seperti itu disana, "maksudku, Gre, aku tau soal kekuatan penglihatan kamu, terus kamu juga tau soal intelegensi aku. Tapi kamu tau apa kekuatan Jinan? Dia ga lebih dari gadis dingin yang irit kata, Ge."

Gracia diam, tidak salah kata-kata Shani itu. Tapi pasti Viny ada alasan sendiri untuk berani menulis nama gadis-gadis yang sudah ia anggap adik di jurnalnya.

"Lagipula, Ci. Kalau kamu perhatiin baik-baik jurnal ini tuh kek diary Kak Viny ga sih?"

"Iya, dia tiap hari cuma duduk di laboratorium doang, Ge. Ya kesehariannya ini," Shani menepuk-nepuk jurnal itu, "jadi ilmuwan. Diary aja isinya 95% rumus sama teori."

Shani terdiam untuk kemudian melihat sebuah box alumunium yang kedap udara di salah satu lemari kaca. Pikirannya kembali dibuat bingung ketika membaca jurnal Viny lagi.

"Menurutmu, kemungkinan buruk apa yang membuat Kak Viny sama Kak Ve berdebat karena serum itu, Ge?" tanya Shani. Kacamata minusnya ia lepas dan dirinya menatap Gracia yang sedari tadi diam.

"Kamu yang IQnya tinggi aja bingung, apalagi aku, Ci? Tapi yang jelas, tiap malem selama dua tahun aku selalu liat kita semua mati disini. Orang yang sama di penglihatan aku ketika liat Kak Kinal tewas, dia yang bunuh kita."

Shani mengangguk, ia sudah tahu tentang penglihatan Gre di masa depan itu. Dan bisa dibilang, semua bayangan yang Gracia pernah lihat tidak pernah salah. Mereka benar-benar terjadi tapi justru kekuatan Gre digunakan untuk mencegahnya terjadi.

Dan sekarang tugas mereka adalah untuk mencegah orang itu datang kembali untuk membunuh mereka.

"Tunggu dulu, sejak kapan kamu lihat pembunuhnya, Ge? Bukannya dulu dia ga ada?"

"Baru tiga harian ini, Ci. Dia selalu muncul di paling terakhir ketika penglihatanku sudah mulai menghilang."

Itu berarti ketakutan Shani dan Gracia akan serum itu tidak terbukti. Mereka mati di tangan pembunuh tersebut, bukan karena serumnya.

"Itu berarti kita bisa lakuin suntik serumnya, Ge!"

To be continue...

𝐕𝐚𝐥𝐤𝐲𝐫𝐢𝐞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang