13

501 73 0
                                    

Mazda Ara berhenti ketika melihat mobil drag itu pergi kalang kabut meninggalkan Jinan dan yang lain. Chika dan Ara lantas keluar diikuti Marsha dan Ashel.

"Kak, gawat! Sinyal penyusup bunyi dari rumah. Ci Shani sama Ci Gre aku hubungin ga bisa," ucap Chika.

Jinan langsung kembali masuk ke mobil dan mereka melaju dengan cepat ke rumah. Sampai disana, tidak ada tanda-tanda kerusakan di bagian depan baik di pintu maupun di tempat lain. Bahkan pintu kamar mereka masih terkunci, Chika harus mendobraknya untuk masuk.

"Ci!"

Mereka berlari ke dalam kamar, mata mereka membulat saat melihat dua gadis itu tergeletak di lantai dengan darah yang menggenang.

"Ci Shani! Ci Gre!"

Dey langsung memeriksa nadi mereka dan sepertinya percuma, bahkan tubuh Shani dan Gracia sudah dingin. Pandangan dan pikiran Dey langsung kosong, ia sampai bersimpuh tak berdaya di dekat jasad keduanya. Sementara gadis yang lain menangis terisak mengetahui dua kakak mereka sudah tiada. Adel dan Zee apalagi, mereka yang sejak sampai rumah tidak melihat atau mendengar tanda-tanda kehidupan dari Shani dan Gre langsung lemas.

Jinan, gadis itu berdiri terpaku dengan mata yang lurus menatap Shani dan Gracia. Dua orang itu tergeletak dengan Shani yang tidur di perut Gre, dari baju mereka terdapat lubang bekas tusukan di dada, yang bisa dipastikan darah itu keluar dari luka tersebut. Tangan Jinan langsung mengepal, ia kembali gagal menjaga orang yang ia sayang, ia kembali kehilangan dua kakaknya dan lagi-lagi, ia kecolongan.

"Mulai sekarang, jangan ada yang ninggalin satu sama lain lagi."

* * *

Seorang wanita dengan tubuh tinggi semampai berdiri menghadap ke jendela. Matanya melihat dua orang yang tengah bertarung dengan tangan kosong di halaman belakang. Dengan emosi yang meledak-ledak seperti itu, mereka bisa saling menyakiti satu sama lain.

"That damn bitch, she called me weak!" teriak salah satu diantara mereka sambil menendang perut temannya. Yang satu lagi juga tidak mau kalah, ia langsung bangkit dan meninju pipi gadis oriental itu dengan keras.

"Mereka gatau siapa kita, berani-beraninya bilang kita lemah, anjing!"

Di belakang wanita itu, berdiri seorang gadis dengan kemeja hitam, tubuhnya tegap dan tangannya dalam posisi siap di belakang punggung.

"Dengan emosi seperti itu, Oniel dan Fiony bisa saling melukai," ucapnya dengan dingin. Wanita itu lantas berbalik dan menatapnya dengan tatap yang tak kalah datar, "they even can kill each other. Tapi biarkan saja, Celine sudah mengawasi mereka."

Wanita dengan kaos putih dan jeans itu duduk di sebuah meja yang ada di depan sang gadis, "kamu berhasil?"

Gadis itu mengangguk, "Saya pastikan mereka tewas, Sensei."

"Bagus. Sekarang tinggal sisanya."

"Berikan Saya perintah, Saya akan membereskannya," ucap gadis itu lagi. Tapi sang wanita justru menggeleng, kepalanya menoleh ke belakang dan kembali menatap dua gadis yang tadi tengah bertengkar kini dipisah oleh gadis-gadis yang lain.

"Tidak perlu, Gita. Biar Cindy yang membereskan sisanya."

* * *

Sudah dua minggu sejak pemakaman Shani dan Gracia. Hujan terus turun tanpa ada jeda, membuat udara semakin dingin dan entah kenapa suasana di rumah Jinan menjadi lebih gloomy. Tidak ada obrolan panjang diantara keluarga mereka sekarang, bahkan untuk sekedar makan bersama mereka seperti enggan. Kehilangan Shani dan Gracia masih meninggalkan duka yang mendalam di rumah itu.

Terlebih Jinan, ia terus mengurung diri di kamar dan enggan keluar tapi beruntung Marsha selalu membawakannya makanan.

"Sudah dua minggu, Kak. Kak Jinan... Gamau kejar yang bunuh mereka?" tanya Marsha. Makan malam kali ini ia hanya membuat mi goreng instan dan secangkir susu hangat untuk Jinan. Tidak ada Shani dan Gracia, tidak ada yang memasak.

"Kamu udah makan?" Jinan mengalihkan pembahasan dengan pertanyaan yang selalu Marsha dengar ketika ia membawakan makanan untuk sang kakak. Ia yang duduk di tepi kasur Jinan hanya mengangguk untuk menjawab 'iya'.

"Semua udah makan, tinggal Kak Jinan."

Jinan menghela napas berat dan mengambil piring berisi mi itu. Ia memakan habis semua sebelum meletakkannya kembali ke atas nampan. Saat Marsha hendak membawa pergi piring dan gelas kotor tersebut, Jinan berdiri dan mengambil alih, "biar aku yang cuci. Kamu istirahat, ya?"

Marsha tidak melawan, ia lantas keluar bersama dengan Jinan tapi berpisah saat sampai di kamarnya dan Zee berada.

Rumah ini jadi sepi, entah apa yang Jinan pikirkan tapi sepertinya ia harus melakukan sesuatu. Yang ia bingungkan adalah; darimana ia harus memulai?

Semua CCTV mati ketika mereka meninggalkan rumah malam itu, dan bukti sidik jari pun tidak ada. Jinan begitu bingung, ia tidak biasanya berpikir seperti ini, Shani yang selalu menuntunnya dan sekarang ia tidak memiliki sosok sepertinya lagi.

Petir terus menyambar sampai Jinan selesai mencuci piring. Ia hendak kembali ke kamarnya tapi berhenti ketika melihat pintu laboratorium yang terkunci berada di seberang dapur. Ia ingat dulu ia dan adik-adiknya disana untuk pengaktifan serum, disana banyak barang dan hal-hal yang Shani larang untuk mereka dekati. Mungkin, ada sesuatu yang membantu disana.

Jinan lantas naik ke lantai dua dan mendekati pintu berwarna putih yang menjadi satu-satunya disana. Ia membukanya dan langsung melihat dua gadis yang tengah berpelukan di samping kasur. Sontak, dua gadis itu langsung terkejut dan melepaskan dekapan satu sama lain.

Braaakkk!!!

Pintu besi laboratorium itu terbuka setelah Chika menendangnya dengan kaki kanan. Pemandangan yang sama mereka lihat saat memasuki ruangan itu. Mata Ara terfokus pada tabung-tabung yang dulu digunakan untuk mengaktifkan serum pada tubuhnya, sedangkan Jinan berusaha mencari sesuatu yang mungkin bisa digunakan untuk mencari siapa pembunuh Shani dan Gracia. Sementara Chika, ia sibuk membaca jurnal yang ia ketahui itu milik Viny.

Tiga gadis itu lantas sibuk dengan urusan masing-masing sebelum Adel dan Ashel datang ke laboratorium.

"Kak Jinan?" panggil Adel. Gadis itu berdiri dengan gugup dan nampak takut menghadap gadis yang kini menjadi kakak tertua diantara mereka. Tapi Jinan langsung menoleh menatap Adel, "ada apa, Del?"

Ashel menatap gadis itu dengan tatapan meyakinkan, seolah-olah Adel ingin mengakui sebuah dosa besar pada Jinan. Apalagi ia terlihat sangat gugup dan ragu.

"Del?"

"A-anu, Kak, um... Maaf aku baru bilang sekarang, soalnya Kak Jinan kaya masih sedih gitu, jadi aku takut buat Kak Jinan nanti--"

"Langsung aja, Del," potong Jinan.

"Eh, i-iya, Kak. Jadi.. waktu kita dikejar mobil drag itu, sebelum mereka kabur, aku denger di earpiece mereka, ada cewek bilang 'Fio, Niel, kalian mundur. Misi sukses, Gita udah berhasil' gitu, Kak. Aku gatau siapa yang bilang, tapi sepertinya dua orang yang kita hajar itu namanya Fio sama Niel. Terus yang Gita itu--"

"Pembunuh Ci Shani, Ci Gre." Jinan lantas menatap kosong ke arah depan. Jika benar terkaannya, gadis bernama Gita ini akan menghadapi masalah besar dengannya.

"Tunggu, maksud lo orang-orang yang ngejar kita itu hanya buat pengalihan, Del?" tanya Ara. Adel mengangguk ragu, tapi pikirannya juga memikirkan hal yang sama.

To be continue...

𝐕𝐚𝐥𝐤𝐲𝐫𝐢𝐞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang