Pavinone ; 18xx
Hogan berjalan menyusuri gelapnya hutan, ia terus berjalan sampai menemukan sesosok perempuan yang tengah memegang perutnya sembari bersandar pada sebuah pohon besar. Sosok perempuan itu adalah sosok yang ia cari selama beberapa hari ini.
Pria itu bergegas mendatanginya. Namun, betapa terkejutnya Hogan saat melihat keadaan gadis itu. Darah mengalir dari pahanya, ia juga terlihat seperti menahan kesakitan sambil menopang tubuhnya agar tidak tumbang. Hogan menggendong tubuh itu untuk kembali ke kastil, tapi segera dihentikan oleh sang gadis, "tidak Hogan, biarkan aku pergi."
"Kau tega meninggalkanku, Mate?"
Gadis itu hanya menggeleng, "antar aku ke sana," ia yang kerap dipanggil Belga itu memohon kepada Hogan.
"Kemana? Kau tidak bisa pergi dengan keadaan seperti ini."
"Seseorang akan membantuku di sana, Hogan. Kumohon padamu."
Entah mengapa Hogan yang tadinya bersikeras kini menjadi luluh. Ia mengikuti permintaan Belga. Gadis itu yang menunjukkan arah kemana mereka harus berjalan. Nafasnya terdengar memburu, entah karena rasa sakit atau lelahnya.
Tak berselang lama, mereka sampai pada sebuah kastil yang berselimut kegelapan. Belga meminta Hogan menurunkannya, tapi pria itu menolak. "Kalau aku tidak turun, aku tidak bisa membuka pintunya." Ucapan gadis itu lagi-lagi membuat Hogan tunduk. Ia menurunkan Belga tanpa melepas tangannya.
Beberapa langkah mereka berjalan, kilatan cahaya terlihat di sekeliling mereka. Perlahan muncullah benda mengkilap yang memantulkan sinar rembulan. Sinar itu menyilaukan mata Hogan, sampai-sampai membuat pria itu tidak bisa melihat siapa yang mengepung mereka dengan pedang-pedang perak tersebut.
Saat ia masih sibuk dengan benda itu, tiba-tiba saja Belga memeluknya membuat mereka terjatuh ke tanah. Hogan yang masih merasakan silau berusaha keras agar Mate nya tidak membentur tanah. Saat ia melihat ke arah Belga yang terduduk di atas Hogan, Belga terlihat berbicara sesuatu pada orang-orang itu, gadis itu terdengar seperti memohon-mohon tapi ia sama sekali tidak mengerti apa yang Belga ucapkan.
Setelah cukup lama gadis itu bernegosiasi, akhirnya mereka pergi. Belga mengusap wajah Hogan. "Kau tidak terluka, Hogan?" ucap Belga khawatir.
Pria itu menggeleng, "tempat apa sebenarnya ini, Mate?" Sang lawan bicara masih diam sambil mengelus kepala Hogan lembut. Ia masih bisa melihat bagaimana wajah khawatir Belga.
Kemudian Belga berkata, "tempat kematianmu."
Sesuatu terasa tertancap di dadanya saat Belga mengatakan hal itu, ia melihat ke arah dada kirinya. Sebuah belati yang tak lain ada belati yang pernah ia berikan pada Belga menancap di sana. Disertai tangan Belga yang semakin menusukkan belati itu ke dada Hogan.
Pria itu membelalakkan matanya tidak percaya, raut Belga sudah berubah sekarang. Tatapannya datar, tapi masih mengelus kepala Hogan. "Mate." Hogan berusaha mengeluarkan suaranya, sementara Belga bangkit dan meninggalkan Hogan begitu saja.
"MATE!"
Hogan terbangun dengan bermandikan keringat. Ia terbangun di kamarnya yang berantakan. Beberapa hari ini pikirannya kacau, ia menjadi lebih mudah tersulut emosi karenanya. "Sial, mimpi itu lagi," umpatnya.
Ia memimpikan hal yang sama sejak Belga pergi. Genap enam hari sudah gadis itu pergi dan Hogan belum menemukannya. Ia sudah memerintahkan bawahannya untuk mencari Belga, tapi sampai detik ini juga ia tidak mendapat hasil. Secara tiba-tiba, pikirannya tertuju pada dunia manusia. Ia berpikir kalau Belga kembali kesana, tapi ia tidak bisa pergi karena kalungnya masih di tangan Sierra. Jika ia pergi kesana tanpa kalung itu maka ia akan mendapat hukuman. Dan Sierra tidak mungkin diam-diam mengembalikan kalung itu pada Belga.
KAMU SEDANG MEMBACA
ADOLPHINE: Ddeungryu [END]
WerewolfHai, namaku Rubelga. Aku tergabung dalam barisan prajurit khusus untuk mengawal Ratu di istana. Sebenarnya, itu adalah suatu ketidaksengajaan. Aku disebut-sebut memiliki kemampuan diatas rata-rata. Aku juga tidak tau bagaimana itu bisa terjadi, pada...