Bab 3 : Rahasia Tyara

71 5 0
                                    

Marissa mencoba menenangkan hatinya. Berharap sebuah kekuatan muncul dalam dirinya. Keberanian untuk menghadapi kenyataan yang ada di hadapannya saat ini.

Armand dengan sabar menggandeng tangan Marissa. Menyusuri jalan kecil menuju tempat peristirahatan terakhir sahabatnya itu.

Tertegun. Marissa menatap nisan putih bertuliskan nama "Tyara Maharani". Dan seolah tak percaya, dirabanya perlahan nama itu dengan tangan bergetar. Sambil bersimpuh, diletakannya seikat Mawar kuning yang dibawanya di atas pusara. Senyap. Mulut Marissa seakan terkunci. Tak ada kata-kata yang bisa diucapkannya. Tubuhnya bergetar, menahan kesedihan dan penyesalan yang menyesak dalam dadanya.

Dengan lembut Armand mengusap punggung istrinya. Mencoba menenangkan. Dilihatnya Marissa berusaha menahan tangis agar air mata tak jatuh di atas pusara. Dibiarkannya ia menumpahkan semua duka yang selama ini dipendamnya. Biar tak ada lagi kesedihan yang tersisa saat ia pulang nanti.

Lama Marissa bersimpuh disana. Terduduk diatas rerumputan yang masih berembun. Sesekali terdengar rintihan doa yang dipanjatkan diantara isaknya. Dan sesekali juga tangannya memunguti daun-daun kering yang berjatuhan di atas pusara. Tubuhnya terasa lemas. Disandarkannya kepalanya di bahu Armand. Kesedihan membuatnya sangat lelah.

Angin mulai berhembus dingin. Sinar matahari pagi yang begitu cerah tiba-tiba meredup begitu cepat. Langit mulai mendung. Seolah ikut larut dalam kesedihan Marissa. Armand menyentuh tangan Marissa tanpa berkata. Mengajaknya untuk pulang. Dibantunya Marissa bangun dari duduknya. Marissa pun menghapus sisa-sisa air mata di pipinya yang basah. Diusapnya nisan Tyara untuk terakhir kalinya, seraya mengucapkan pamit dan berjanji akan mengunjunginya lagi nanti.

Dari dalam mobil, Marissa memandang kosong jalanan di sampingnya. Seolah tak ingin suaminya melihat duka yang masih tersisa di matanya yang sembab. Ia sudah berjanji, tangisannya tadi adalah tangis terakhirnya untuk Tyara. Mulai saat ini ia tidak boleh bersedih dan meratapinya lagi.

Gerimis mulai turun. Armand melajukan kendaraannya dengan lambat. Membiarkan Marissa menikmati jalanan sepi di Sabtu pagi itu. Tak sedikit pun kata terucap dari mulutnya sejak mereka keluar dari kompleks pemakaman.

"Kapan kita pulang ke rumah, Mas?" Suara Marissa memecah keheningan.

"Kamu sudah siap?"

Marissa mengangguk.

Armand tersenyum menatapnya. Senyuman yang membuatnya kembali merasa bersalah. Sekian lama ia menjauhi suaminya. Tak memperdulikannya. Dan kini ia sangat merindukan senyum itu, dan pelukan hangatnya di rumah mereka sendiri.

Sejak peristiwa itu, Mas Armand mengajak ia dan Sava untuk menginap di rumah orang tuanya yang hanya berjarak empat puluh lima menit saja dari rumah. Kedua orang tua Mas Armand hanya tinggal berduaan saja. Keduanya sudah pensiun dari pekerjaannya. Dan adik perempuan Mas Armand, Ariana sudah menikah dan tinggal di Bandung mengikuti suaminya. Mereka sering kesepian. Biasanya setiap dua minggu sekali Mas Armand mengajak ia dan Sava mengunjunginya. Marissa sudah menganggap mereka seperti orang tua kandungnya.

Sampai di rumah senyum lebar Sava menyambut Marissa dan Armand di depan pintu. "Aku punya kejutan!" ucapnya riang, sambil berlari ke ruang makan.

"Tadaaaa!"

Diatas meja telah tersaji sepiring besar donat dengan toping beraneka rasa dan warna.

"Kamu yang buat?" Marissa tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.

"Bikinnya sama Oma." Sava memeluk Omanya yang tersenyum senang.

"Oh, wow! Anak ayah mau jadi chef, rupanya?" Armand mencium pipi Sava. Diambilnya sebuah donat coklat dan memasukannya ke dalam mulut.
"Nanti kamu bikin lagi ya, di rumah sama Bunda. Besok sore kita pulang."

Janji Sampai Mati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang