Bab 16 : Tak Ada Yang Kebetulan

43 4 0
                                    

Sudah hampir satu jam Armand berada di dalam mobilnya yang tak bergerak sejak keluar dari ruang Pak Wisnu. Ia masih duduk terdiam. Terpaku dalam angannya. Semangatnya sudah hilang. Ia merasa hampa. Tak berarti lagi. Selama ini ia mengira telah cukup bekerja keras untuk membahagiakan Marissa dan Sava. Ia bahkan menganggap bantuan yang diterimanya dari wanita itu hanya separuh andil dalam hidupnya. Tapi ternyata, bahkan pekerjaannya pun bukan miliknya. Semua milik Marissa. Dan dadanya terasa semakin sesak saat menyadari jika selama ini hidupnya tak lebih dari seorang penjaga putri milyuner. Seorang pengawal yang jatuh cinta kepada putri rajanya. Sekarang ia mengerti mengapa wanita itu selalu memandang rendah dirinya.

Armand mengusap air matanya. Wanita itu telah menjebaknya dalam permainannya selama bertahun-tahun. Ia begitu naif mengira wanita itu dengan tulus membantunya karena menghargai kesetiaan ayahnya yang telah mengabdi 25 tahun di perusahaannya. Ternyata semua kebetulan yang terjadi dalam hidupnya, bukanlah kebetulan semata. Semua telah diaturnya. Sekolahnya, beasiswanya, pekerjaannya. Bahkan pertemuannya dengan Marissa pun pasti telah diaturnya juga. Karena dia tidak  mencari suami untuk Marissa, tapi dia mencari laki-laki untuk menjadi penjaganya.  Dia mengamati Ayahnya sejak lama. Keluarganya. Mengamati dirinya, dan mempersiapkannya untuk menjadi penjaga aset paling berharganya.

Armand menghela nafasnya yang berat. Hatinya terasa pilu. Sakit! Ia menyadari hidupnya akan selalu berada dalam perangkap wanita itu. Karena ia tak mungkin meninggalkan Marissa dan Sava. Dan jika suatu saat nanti Marissa akan meninggalkannya, ia akan tetap mencintainya. Ia akan tetap menunggunya kembali.

Air mata Armand kembali mengalir. Ia tak sanggup membayangkan jika harus berpisah dengan istri dan anaknya. Ia tidak akan bisa hidup lagi. Hidupnya akan hancur. Tubuh Armand bergetar. Kini ia merasa sangat ketakutan. Apakah wanita itu akan membawanya pergi karena ia telah gagal menjaganya?

Armand kembali menatap layar ponsel Marissa di tangannya. Ada dua gambar yang sudah dihapus dari pengirim yang sama. Mengapa Marissa menghapusnya? Apakah foto-foto itu juga ikut memengaruhi perubahan sikapnya?

Armand mengusap wajahnya dengan kedua tangan dan menghapus sisa air matanya. Dinyalakannya mesin mobil. Lalu melajukannya keluar dari halaman parkir.

Marissa menyambutnya di ambang pintu dengan senyum kecilnya. Senyum pertama yang dilihat Armand sejak peristiwa di supermarket itu. Dipeluk dan diciumnya kening Marissa dengan lembut. "Maaf, sayang. Aku belum bisa menemukan orang itu," bisiknya.

Marissa menggeleng. "It's ok," ucapnya.

"Sebagai gantinya. Aku mau mengajak kamu makan malam romantis malam ini." Armand menatap mesra istrinya."

Marissa melepaskan pelukan Armand. "Beneran?" Tanyanya dengan wajah sumringah. Yang dijawab Armand dengan sebuah anggukan.
"Tapi Sava bagaimana?" Marissa memandang Armand dengan ragu. Dia tak tega meninggalkan Sava.

"Bagaimana kalau nanti Sava kita antar dulu ke rumah Tante Marlin, bersama Mama dan Papa. Biar Sava juga bisa bermain dengan Tasya. Lalu pulangnya kita jemput mereka lagi?"

Marissa mengangguk senang. Meski di dalam hati ia terkejut dengan perubahan sikap suaminya yang mendadak menjadi  hangat dan romantis. 

...

Marissa tak bisa menahan tawanya sejak mereka tiba di cafe yang penuh sesak dengan pengunjung itu. Membuat Armand menjadi salah tingkah.
"Aku kirain makan malam romantisnya di restauran fine dining. Aku udah rapi begini?" Ucapnya seraya menunjukan penampilan cantiknya.

"Sorry, Ris. Maksudku... romantis itu... karena tempat ini kan, tempat pertama kita ketemu dulu," jawab Armand dengan canggung.

"Enggak apa-apa, sayang. Aku senang. Cuma aku salah faham aja tadi," ucap Marissa sambil mengusap tangan Armand. Ia merasa bersalah sudah menertawakannya.

Armand memandang Marissa yang terlihat sangat cantik malam itu. Dengan rambut hitamnya yang tergerai. Mata beningnya yang berbinar indah. Dan baju putih berbunga yang membuatnya tampak seperti malaikat. Kamu memang istri yang baik, Ris. Kamu selalu mengalah untuk menyenangkanku.

"Kamu masih ingat kan, pertama kita ketemu di sini?" Armand menatap Marissa.

Marissa mengangguk. "Ya. Dulu cafe ini masih belum seramai sekarang. Kita duduk di sana." Marissa menunjuk sebuah sudut yang kini dipenuhi oleh deretan aneka kue di dalam lemari kaca. Sejenak ia terdiam, mencoba mengingat kembali masa-masa itu. "Pertemuan yang aneh... Kita dipertemukan oleh klien yang sama, di waktu yang sama dan tempat yang sama," sambungnya lagi.

Armand tersenyum. Sekarang semuanya tidak ada yang terasa aneh Ris, batinnya. Semua yang terjadi dalam hidup kita sudah diatur mereka. Bahkan kita juga bekerja di perusahaan mereka tanpa kita sadari.

"Aku tak pernah melupakan hari itu, Ris. Saat kita pertama kali bertemu. Aku langsung jatuh cinta." Armand menatap wajah Marissa yang tersipu. 

"Dan waktu itu aku gugup sekali. Kamu terus-terusan menatapku. Dan anehnya klien kita malah enggak jadi datang. Dia lupa punya janji meeting sama bosnya." Kini Marissa kembali tergelak. Sudah lama sekali ia merasa tak sebahagia itu. Dipandanginya laki-laki di hadapannya itu. Wanita mana yang bisa menolaknya? Ia seperti jelmaan laki-laki sempurna dalam gambaran di novel-novel romansa yang dibacanya.  Tampan, gagah dan pintar.

Armand hampir saja meneteskan air mata, melihat Marissa menatapnya penuh cinta. Selama ini ia mengira Marissa dikirimkan Tuhan untuknya dengan cara yang indah. Ya, Tuhan. Andaikan dia tahu semua ini.

Marissa menatap dalam-dalam kedua mata Armand. Ia tahu ada sesuatu yang disembunyikan dibalik senyumannya. Ada kesedihan yang terpancar di sorot matanya. Begitu dalam hingga senyumnya pun tak bisa lagi menutupinya. Apa yang disembunyikannya? Apakah ia yang telah membuatnya kecewa? Mungkinkah ia sudah merasa lelah bersamnya? Lelah  menjaganya? Dan lelah mencintainya? Kini Marissa merasa ketakutan. Bagaimana kalau ia sudah tak sanggup lagi mencintainya? Dan berhenti mencintainya?

Marissa meraih kedua tangan Armand. "Kamu janji enggak akan ninggalin aku apa pun yang terjadi?" Kini bibirnya bergetar. Dan air matanya pun tumpah ketika dilihatnya laki-laki yang dicintainya itu menganggukan kepalanya. Diciumnya tangan itu, dan dibiarkannya basah oleh air mata.

Kini Armand melihat wanita yang sangat dicintainya itu begitu rapuh. Bagaimana mungkin ia akan meninggalkannya. Marissa hanya memiliki dirinya dan Sava. Ia tak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Dan ia percaya harta sebanyak apa pun tak akan membuatnya bisa bahagia jika harus hidup terpisah dari orang yang dicintainya.

Seorang pelayan datang tergopoh-gopoh dengan catatan di tangannya. "Maaf, Pak, Bu. Sudah bisa saya catat orderannya sekarang?"

Armand dan Marissa tampak terkejut. Keduanya lalu tertawa memandang dua buah buku menu di atas meja yang belum dibuka sama sekali.

"Hot latte dua. Dan Strawbery Cheese Cake nya juga dua," sahut Marissa tersipu malu seraya buru-buru menghapus air matanya.

"Kamu masih ingat pesanan kita dulu." Armand mengusap sisa air mata di wajah Marissa dengan tisu.

"Ingat dong! Kan, dulu juga aku yang pesan. Terus kamu cuma bilang, 'sama!' ke pelayannya," ucap Marissa seraya memberikan senyum termanisnya pada Armand.

Armand merasa kini kehangatan menyelimuti hatinya. Tidak ada yang lebih membahagiakannya saat ini selain melihat Marissa dapat kembali tersenyum dan tertawa lepas seperti dulu lagi. Ia akan melakukan apa pun untuk dapat melihatnya tersenyum setiap hari.

Namun, setitik keraguan tiba-tiba saja muncul membayanginya. Apakah dia juga akan tersenyum bahagia seperti ini jika tahu rahasia itu? Dan apakah dia akan tetap bersamanya jika tahu bahwa ia adalah seorang putri milyuner? Apakah dia akan tetap mencintainya dengan cara yang sama?

Janji Sampai Mati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang