Bab 4 : Mencari Petunjuk

69 5 0
                                    

Marissa berdiri di depan rumah berdinding putih itu. Pandangannya menyapu seluruh halaman rumah yang tampak tak terawat. Pepohonan layu dan kering. Dan rumput yang biasanya selalu terpangkas rapi kini tumbuh tak beraturan. Daun-daun kering yang tertiup angin pun bertebaran ke seluruh penjuru halaman.

Melangkah ragu. Marissa mengeluarkan kunci yang dititipkan Fandi, suami Tyara kepada Mas Armand. Sejak Tyara tiada, Fandi memang sudah jarang sekali menempati rumah itu. Karena seperti dirinya, Fandi juga sangat trauma dengan kepergian Tyara yang tiba-tiba. Hingga ia memutuskan pindah ke Yogyakarta, kota kelahirannya. Ia bahkan berniat untuk menjual rumah itu.

Tapi, semasa Tyara masih ada pun Fandi memang sudah jarang berada di rumah. Pekerjaannya sebagai seorang jurnalis di sebuah televisi nasional, sering membuatnya harus bepergian ke luar kota. Dan itulah yang sering menjadi penyebab pertengkaran mereka. Apalagi di usia pernikahan yang sudah menginjak tahun kedelapan, mereka belum juga dikarunia buah hati. Satu-satunya impian Tyara yang belum terwujud hingga akhir hayatnya.

Seketika bau lembab menyeruak keluar sesaat pintu terbuka. Marissa menarik pintu lebar-lebar. Membiarkan udara segar masuk kedalam rumah. Dibukanya juga tirai dan jendela, agar cahaya matahari dapat masuk dan menghangatkan rumah yang gelap dan dingin itu.

Perlahan Marissa menelusuri seluruh ruangan. Semuanya tampak bersih, rapi dan tersusun pada tempatnya. Fandi memang sangat menyukai kerapihan dan kebersihan. Tyara sering bercerita kalau ada barang di rumah bergeser lima senti saja, Fandi pasti akan tahu.

Marissa mengeluarkan kunci rahasia itu dari saku bajunya. Diperiksanya satu persatu furnitur yang ada di seluruh ruangan sambil mencoba memasukan kunci di setiap lubang kunci yang ia temukan di lemari, laci meja, bufet, bahkan hingga tempat penyimpanan peralatan dapur. Tapi semuanya tak ada yang cocok.

Marissa menarik nafasnya. Sambil duduk di sofa, matanya kembali menyapu setiap sudut ruangan. Memastikan tak ada yang terlewat olehnya. Dirabanya lagi kunci itu dengan teliti. Seolah ingin melihat sesuatu yang tersembunyi di sana. Pikirannya penuh tanda tanya. Untuk apa Tyara menyembunyikannya jika tak ada satu benda pun yang dapat ditemukan dengan kunci ini? Ataukah benda itu berada di tempat lain? Apa sebenarnya rahasia yang disembunyikan Tyara? Dan untuk apa ia menyembunyikan kunci ini?

Apakah ia harus memberi tahu kannya pada Fandi? Marissa menggeleng-gelengkan kepalanya. Kalau Fandi tahu tentang kunci itu, tak mungkin Tyara menyembunyikannya. Atau... apakah ini tentang Fandi? Marissa menghela nafasnya. Dipijit-pijitnya keningnya. Mencoba mengingat kembali saat-saat terakhir ia bersama Tyara. Saat ia mengatakan mengetahui sebuah rahasia besar. Rahasia apa? Selama ini Tyara tidak pernah menyimpan rahasia darinya. Mereka bertemu hampir setiap hari, dan mereka selalu saling bertukar cerita. Tentang Fandi, tentang Mas Armand, tentang Sava. Tentang mereka berdua. Tak ada satu pun rahasia di antara mereka. Bahkan, Marissa tahu lebih banyak hal yang tidak diketahui Fandi tentang Tyara.

Marissa menutup kembali rumah itu. Melangkah keluar dan berjalan pulang ke rumahnya yang hanya berjarak dua blok saja jauhnya.

Sementara itu, dari dalam sebuah mobil terlihat seseorang mengamatinya dari kejauhan. Mengeluarkan ponsel lalu mengambil gambarnya.

Armand baru saja mematikan mesin mobil ketika Marissa juga baru sampai di depan rumah.
"Dari rumah Tyara?" Tanyanya sambil membuka pintu mobil dan menenteng tas kerjanya.

Marissa mengangguk dengan senyum. Buru-buru dibukanya pintu rumah.

"Sendirian?" Tanya Armand lagi dengan nada curiga.

"Ya," sahut Marissa. Diciumnya tangan Armand. Lalu dipandanginya wajahnya dengan bingung. Ada apa ini? Batinnya.

Armand bergegas masuk ke dalam kamarnya dengan pintu yang ditutup keras.

Sambil menghela nafas panjang Marissa melangkah ke dapur. Disiapkannya teh hangat dan sepiring kue pastel yang dibuatnya tadi siang.

Kini dilihatnya Armand sudah berganti pakaian. Tercium aroma wangi sabun dari tubuhnya. Duduk di sofa, ia tampak sibuk dengan ponselnya. Raut wajahnya terlihat masih kesal. Pasti ini masalah di kantornya. Sebagai seorang pengacara baru di sebuah firma hukum besar, Mas Armand sering mendapatkan tekanan untuk memenangkan kasus-kasus yang ditanganinya. Dan sering sikap emosinya itu terbawa sampai ke rumah.

"Mas..." Marissa meletakan nampan berisi teh dan kue itu di depan Armand.

Armand menoleh. Meletakan ponselnya diatas meja, lalu mengangkat cangkir tehnya. Marissa tahu, saat ini suaminya sedang butuh waktu sendiri. Ia pun beranjak dari duduknya. Namun, belum sempat melangkahkan kaki, tangan Armand sudah menahannya. Menariknya kembali di sampingnya.
"Aku tahu kamu menyembunyikan sesuatu dariku," ucapnya. Wajahnya menatap Marissa sangat dekat. "Kamu enggak bisa menyimpan rahasia dariku, Ris," sambungnya lagi.

Tatapan suaminya membuat jantung Marissa berdegup kencang. Ditariknya tubuhnya menjauh. "Rahasia apa?" Elaknya. Dicobanya bersikap tenang.

"Jangan bohong, Ris! Aku merasa sudah dua hari ini kamu bersikap aneh," jawab Armand lagi. Ia memang tidak bisa dibohongi.

"Mas, kamu baru aja memaksa aku tinggal di rumah orang tuamu selama seminggu. Lalu kamu memaksaku ke makam Tyara. Dan dua hari ini aku bersih-bersih rumah sendirian. Aku cuma kecapean... It's just too much, Mas!"

Dilihatnya Mas Armand yang masih menatapnya penuh selidik, seperti menatap seorang terdakwa.

"Terus, kamu ngapain ke rumah Tyara?" Tanyanya lagi tak percaya.

"Aku kan, udah bilang, Mas. Aku lagi cari barang-barangku di sana. Aku kan, sering kalau mampir ke sana itu ninggalin wadah makanan, piring dan lainnya. Kamu udah bilang ke Fandi kan, kalau aku ke rumahnya hari ini?"

Kini Armand melepaskan tatapannya sambil menghela nafas. "No respond! Mungkin ponselnya enggak aktif," sahutnya sedikit kesal.

Marissa mengernyitkan keningnya. Kini ia faham. Mas Armand pasti menyangka ia janjian dengan Fandi.
Astaga! Inilah satu-satunya sifat suaminya yang paling tidak disukainya. Mas Armand selalu saja curiga dan sangat protektif padanya. Meski ia selalu beralasan demi tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Tapi Marissa merasa selama ini suaminya itu sangat berlebihan. Apalagi sejak Tyara tiada, sifat protektifnya semakin menjadi.

"Terus? Mana barang-barangnya?" Kejar Armand lagi dengan nada curiga.

Ya, Tuhan sulit sekali membohongi seorang pengacara yang pecemburu.
"Sudah gak ada, Mas. Rumahnya sudah rapi sekali. Mungkin sudah diberesin sama Fandi."

Buru-buru Marissa mengangkat cangkir tehnya untuk menutupi wajah. Ia takut suaminya mengetahui kebohongannya.

"Benar rumah itu mau dijual, Mas?" Setenang mungkin Marissa mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

Armand mencomot kue pastel di depannya lalu memasukannya ke dalam mulut. Kini ia terlihat lebih tenang.

"Katanya sih gitu. Fandi minta tolong aku kalau nanti ada orang yang tertarik untuk house tour aku diminta menemani."

Marissa mengangguk-angguk. Ia tahu Armand sebenarnya tidak terlalu menyukai Fandi. Ia menganggap Fandi orang yang aneh, susah ditebak dan misterius. Sifat yang justru membuat Tyara jatuh cinta ketika pertama kali mereka bertemu.

"Aku senang lihat kamu sekarang sudah gak sedih lagi." Armand memeluk Marissa. Dikecupnya rambutnya.

Marissa tersenyum. Kini suaminya sudah kembali seperti semula. Mas Armand yang hangat dan romantis.
Laki-laki yang semakin hari semakin membuatnya jatuh cinta. Laki-laki yang membuatnya rela melakukan apa saja untuk membuatnya bahagia. Dipeluknya Armand dengan erat, seolah takut ia akan kehilangan dirinya.

Armand menyandarkan punggungnya di sandaran sofa. Dibiarkannya wajah Marissa yang bersandar di dadanya. Diciumnya kembali rambut Marissa. Ia tahu, Marissa sangat rapuh. Ia sangat kehilangan sahabatnya itu. Dan sekarang ia kesepian. Tak ada lagi yang menemaninya. Karena Marissa memang tak punya teman lain. Sejak menikah dengannya, ia meminta Marissa untuk tidak bekerja lagi. Demi mengikuti perintah wanita tua itu. Ia tinggal di rumah dan mengurus Sava sendirian. Ia sangat protektif pada Sava. Ia tidak ingin Sava diasuh orang lain selain keluarganya. Ia bahkan tidak ingin dibantu asisten rumah tangga karena takut Sava akan dibawa pergi. Marissa memang tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini selain dirinya dan Sava.











Janji Sampai Mati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang