Bab 18 : Sang Psikopat

52 4 0
                                    

Armand memandang Pak Wisnu dengan gelisah. "Kapan sampainya kalau jalannya pelan begini, Pak?"

"Ini enggak pelan. Ini normal. Daripada ngebut tapi kita yang mati duluan sebelum sampai? Sudahlah. Kamu istirahat dulu. Nanti kalau sudah tenang baru saya kasih nyetir lagi," sahut Pak Wisnu.

"Kita tertinggal tiga puluh menit di belakang," ujar Armand lagi, tak bisa menutupi kegelisahannya.

"Ini hari libur. Puncak sebentar lagi macet. Marissa pasti kena macet juga."

"Apa Marissa masih mengingat tempat itu? Bukankah saat itu dia masih kecil?"

Pak Wisnu memandang Armand. Ia seperti baru diingatkan. "Kamu betul. Dia tak mungkin ingat. Waktu itu dia masih seusia Sava. Ponselnya masih mati?"

Armand mengangguk. Dalam hati ia berdoa agar Marissa tidak mengingatnya, dan tidak pernah sampai ke sana.

Dalam mobil yang lain, wanita yang bernama Rosa itu tampak gelisah. Dia memandang dengan kesal kemacetan di depannya.

"Kamu sudah bisa menghubungi Pak Dharma lagi?" Tanyanya pada pria tegap bersafari yang duduk di depan bersama supir.

"Belum, Bu. Ponselnya masih belum aktif. Sepertinya dia tidak sedang bertugas hari ini. Apa saya coba menghubungi kantor polisi terdekat saja, Bu?" Jawab pria tegap itu.

"Tidak!" Sahutnya tegas.

Wanita itu lalu mengambil ponselnya. Ditekannya sebuah nomor di sana.
"Sofie, semua dokumennya sudah siap? Ingat! Jangan sampai ada yang tertinggal
Kami akan tiba di bandara pukul enam." Sejurus kemudian dia memandang GPS di dashboard mobilnya. "Dia semakin jauh," ujarnya dengan nada putus asa.

...

Marissa menghentikan mobilnya di depan sebuah bangunan terbengkalai. Dilangkahkan kakinya keluar. Ke depan sebuah gerbang tinggi yang tertutup. Ada namanya terukir di sana. Villa Marina. Dipandangnya dari kejauhan rumah besar itu. Diingatnya dengan jelas masa-masa itu. Masa kanak-kanak yang tidak disukainya. Masa-masa yang pernah dilupakannya. Dua puluh empat tahun yang lalu. Saat ia masih seusia Sava.

Dari kejauhan dilihatnya jendela besar yang terbuka lebar di atas sana. Ia ingat itu adalah tempat pavoritnya waktu itu. Ia sering duduk di sana. Menjulurkan kedua kakinya keluar jendela. Sambil mengamati orang-orang yang berlalu lalang di jalanan. Orang-orang itu akan melambaikan tangan padanya. Dan anak-anak akan memanggilnya untuk mengajaknya bermain. Tapi ia tak pernah sekali pun diijinkan melangkah keluar dari gerbang itu.

Dan kini jalanan itu pun tampak sepi. Hampir tidak ada orang yang lewat sejak ia berdiri disini. Sisi kanan dan kiri jalanan yang ditumbuhi ilalang tinggi menandakan jalanan itu memang sudah jarang dilewati.

Marissa mendorong pintu gerbang yang tak terkunci itu. Terdengar deritan besi tua yang sudah berkarat. Ditelusurinya jalan setapak berbatu yang licin menuju pintu rumah. Lumut dan rumput liar tampak tumbuh di sela-selanya. Dilihatnya halaman luas yang kini ditumbuhi ilalang dan tanaman liar. Ia ingat, dulu halaman itu ditumbuhi rumput setebal karpet. Ia sering berlarian di sana. Menangkap kupu-kupu yang hinggap di bunga-bunga Mawar yang ditanam Mama. Ada rasa pedih yang dirasakannya ketika mengingat momen itu.

Kini Marissa menginjakkan kakinya di lantai rumah yang tertutup debu yang lengket. Matanya menyapu seluruh isi ruangan. Dikumpulkannya semua ingatannya. Tak ada kenangan indah yang diingatnya di sana, kecuali ibunya yang tengah mengajarinya bermain piano. Kini kedua matanya mulai berkaca-kaca. Dibukanya kain yang menutupi piano itu. Lalu jari-jemarinya menyentuh satu persatu tuts piano, mengeluarkan nada yang menggema ke seluruh ruangan. Saat itulah terdengar sebuah tepukan tangan yang keras.

Janji Sampai Mati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang