Lunark memulai detensinya beberapa menit yang lalu setelah Madam Gallena memberikan garpu taman untuknya. Lunark menyingkirkan dedaunan yang jumlahnya tak terhingga. Ia menatap kesal pada orang-orang yang sengaja menendangi daun-daun yang telah dikumpulkannya. Kebanyakan dari mereka berasal dari murid kelas 1.
"Enyahlah! " bentak Lunark dengan mata melotot membuat mereka lari terbirit-birit.
Sesaat ia agak menyesal karena sekarang ia sendirian tanpa ada seorang pun di sekitarnya. Hawa dingin mencekam membuat kulitnya merah merona. Belum lagi suara-suara hutan kala malam tiba membuat siapapun tak ingin berlama-lama berada di sana.
"Orang bodoh mana yang mau masuk ke hutan malam hari selain aku, " gerutu Lunark sembari mengumpulkan daun-daun yang terus berjatuhan. "Seolah tak ada habisnya... "
"Teh? "
Lunark tersentak sampai garpu tamannya jatuh ke tanah. Gadis itu berbalik dan mendapati Alaric berdiri di belakangnya sambil memegang secangkir teh yang mengepul. Tak perlu bertanya darimana lelaki itu mendapatkan teh dengan cangkir yang berukir indah.
"Alaric? "
Alaric tersenyum sambil menyodorkan teh yang ia pegang. Lunark menerima dengan senang hati lalu menyesapnya sampai tandas. Hangatnya air teh itu cukup menghangatkan tubuhnya yang nyaris membeku.
"Oh, kau ingin berbicara denganku bukan? Katakan sekarang, " ujar Lunark dengan mata yang berbinar.
Alaric mengangguk seraya mengambil cangkir teh dari tangan Lunark dan membuangnya asal-asalan. Lunark menyayangkan benda cantik itu yang kini hancur berkeping-keping. Sungguh kalau boleh ia ingin menyimpan satu untuk dikoleksi.
"Tidak disini, Lunark. Ikuti aku, " kata Alaric membuat Lunark melongo.
"Aku belum selesai dengan tugasku. Wanita tua——maksudku Profesor Marianne akan menambah hukumanku nanti jika aku kabur, " oceh Lunark. Alaric hanya menatapnya tanpa berekspresi. "Percayalah," tambahnya.
Alaric mengangkat tangannya dan menghempaskan ke depan. Seketika daun-daun dari tempat mereka berdiri sampai ke ujung jalan, menyingkir dengan sendirinya. Lunark terperangah. Sihir memang luar biasa!
"Yang penting beres, kan? " tanya Alaric sambil tersenyum jahil.
"Tentu saja! " sahut Lunark riang.
Alaric memegang tangan Lunark dan menuntun gadis itu masuk ke dalam hutan. Lunark berusaha menyembunyikan perasaan senangnya yang menggebu. Seekor kuda jantan berwarna putih keperakan tiba-tiba datang entah darimana. Cahaya putih yang agak redup terpancar dari tubuhnya. Lunark mendekat ke arah Alaric dengan perasaan ngeri bercampur takjub. Kuda itu tak menyalip mereka, ia berjalan berdampingan dengan dua manusia tersebut.
"Ia adalah patronaku. Tak akan melukai siapapun," jelas Alaric yang mengerti ketakutan Lunark.
Raut wajah Lunark agak melembut. "Patrona? "
"Kau akan tahu beberapa bulan lagi. Patrona adalah pelindungmu yang berwujud hewan. Ia hadir sesuai dengan kualitas sihirmu dan tentunya karaktermu. Patrona mencerminkan jati diri kita."
Lunark hanya mengangguk meskipun ia tidak paham sama sekali. Mereka keluar dari jalan setapak, menerobos ranting-ranting, dan sedikit kesulitan oleh minimnya cahaya. Di sekitar mereka ada banyak kunang-kunang tapi tentu saja tak mampu menerangi jalanan itu meskipun ada patrona Alaric yang ikut menyumbangkan penerangan. Lunark tak sempat memprotes karena ia sibuk mengatur detak jantungnya yang berdetak tak beraturan.
Hutan lebat dan gelap itu seketika berubah menjadi hamparan padang rumput luas yang diterangi oleh sinar rembulan. Mereka berjalan memasuki tanah lapang itu. Lunark merasa seolah masuk ke dunia lain. Ada beberapa batu sebesar meja di tengah padang rumput itu. Alaric melompat ke atas batu tertinggi dengan mudahnya. Lelaki itu mengulurkan tangannya ke bawah. Lunark tidak menyambutnya. Ia ragu, ingin memanjat tapi gaunnya tidak nyaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Queen Chronicles
Fantasy"Kau tahu, di langit tersimpan sebuah rahasia. Rahasia besar mengenai pewaris tahta. Jika kau mau tahu, suruh mereka bercerita. Maka mereka akan bercerita. "