Perjalanan Menuju Takdir Tuhan

1K 91 2
                                    

Lunark, Lilac, dan Kenji saling menginterogasi. Mereka dikurung di ruangan yang sama, di kamar Lunark. Lilac tidak pernah melihat kamar anak perempuan seramai ini. Rasanya kau bisa menemukan apapun yang dipajang di toko di dalam kamar ini. Tapi Kenji tidak memperhatikan apapun selain lilin beraroma eucalyptus yang berpendar. Ia mendengarkan celotehan Lunark tentang bagaimana awal mula sihir itu muncul.

"Kau tidak pernah mencoba mencari tahu siapa Ibumu? " tanya Lilac setelah puas berkeliling ruangan.

"Yang kutahu hanyalah ia berasal dari luar Winterland. Berwajah cantik, memiliki rambut serupa dengan rambutku dan juga memiliki bola mata hijau. Ayahku tidak banyak bercerita tentangnya dan aku juga tidak pernah bertanya. Untuk apa membahas orang yang sudah tiada. Hanya membuatnya tidak tenang di alam sana. Ibuku hidup diantara aku dan Ayah dalam bentuk cahaya redup seekor kunang-kunang. Itu hanya perumpamaan karena ia begitu samar, begitu kecil, redup, tapi ia ada," jelas Lunark panjang.

Lilac memegang tanggan Lunark lembut, menyalurkan simpatinya.

"Kita memiliki tanda tanya yang besar yang jawabannya berada di antah-berantah. Aku merasa bodoh, " ujar Kenji yang sedari tadi diam.

"Aku lebih suka dipanggil anak hutan, " gumam Lilac. Lunark dan Kenji menatapnya bingung. Dan Lilac pun mengerti. "Aku selalu tinggal di hutan dan berpakaian aneh."

"Aku juga lebih senang dipanggil kutu buku, " Kenji ikut-ikutan.

"Dan aku tidak mau dipanggil anak haram, " kata Lunark ketus.

Pintu kamar terbuka lebar membuat tiga orang yang sedang diskusi menoleh. Stefan bersama orang tua lainnya menyeruak masuk ke dalam kamarnya.  Lunark tampak kesal arena pribadinya jadi ramai.

Dalam keremangan cahaya, Lunark dapat melihat raut wajah ayahnya yang lelah. Ia melihat orang tua Lilac sedang memeluk anak itu sambil menangis sesenggukan.

"Apa yang terjadi, Ayah? " tanya Lunark bingung.

"Tiga hari lagi kalian akan dikirim ke Walterlish—jangan menyela, Lunark—kalian akan masuk ke sebuah sekolahan besar, bernama Royal Eternity, " jelas Stefan tegas.

Lunark merasa ada yang tidak beres. Ia memang selalu ingin keluar dari Hallen yang keterbelakangan, tapi tidak dengan alasan yang tidak jelas. Sekolah apa tadi? Royal Eternity? Sekolahan apa itu? Lunark tidak pernah mendengarnya.

Orang-orang berpamitan pulang ketika Lunark hendak bertanya. Stefan mengantar mereka sampai kaki tangga dan kembali lagi ke kamar putrinya. Kini hanya ada mereka berdua. Lunark langsung mengajukan protes.

"Apa yang terjadi? " tanyanya sekali lagi.

Alih-alih menjawab, Stefan justru duduk di tepi kasur dan terus menatap wajah anak sematawayangnya itu membuat Lunark curiga jika ada hal besar yang disembunyikan oleh ayahnya.

Hati Stefan terasa sakit membayangkan tiga hari lagi putrinya tidak akan berada disini. Tiga hari lagi ia tidak akan mendengar celotehan berisik pagi hari atau aroma manis dimana-mana. Tangan Stefan terulur untuk menyentuh sisi wajah Lunark. Jika benar suatu saat anak ini akan menjadi orang besar, maka...

"Ayah? " Lunark mengintrupsi.

Stefan tersenyum.

"Kemana aku akan pergi? "

"Ke tanah kelahiran Ibumu."

Mata Lunark berbinar kesenangan. Ia menatap langit-langit kamar dengan tatapan tak percaya. Hari ini adalah hari yang dinantinya untuk mendengar kabar temtang seorang ibu yang telah melahirkannya. Setelah sampai disana ia akan bertanya-tanya kepada orang-orang tentang ibunya. Siapa tahu ada beberapa orang yang merupakan keluarga ibunya. Luar biasa...

Queen Chronicles Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang