20.

10.3K 560 5
                                    


"Hahaha kuat juga lo ternyata!"

"Padahal gue pengen lo mati sekarang!" Ucap orang itu dengan penuh penekanan.
_________

Seorang pemuda berlari sekencang mungkin di tengah hutan yang di kelilingi oleh pepohonan yang sangat besar dan mengerikan, rumput-rumput yang hampir sama dengan tinggi badannya terus dia tubruk, sudah tidak ada rasa takut lagi, sudah tidak ada rasa sakit di dalam dirinya yang ada hanya rasa takut dan ingin segera keluar dari hutan ini meski dengan apapun caranya dia harus bisa keluar dari hutan ini.

"Ya Allah tolong,"

Berlari, berlari dan terus berlari sampai dia pun sekarang tidak tahu ada di mana, keringat yang membasahi baju nya, dan nafasnya yang sudah mulai habis dia paksakan untuk berlari,  suasana yang gelap hanya di sinari oleh bulan di malam hari jadi saksi bisu bagaimana menderitanya dia.
___________

Kafka berjalan gontai keluar dari kamarnya, sudah dua hari Kafka mengurug dirinya di kamar sendirian, tidak pernah makan ataupun minum selama dua hari ke belakang, wajahnya yang pucat menjadi tanda seberapa frustasi nya Kafka yang kehilangan adiknya.

Penyesalan yang paling berat yaitu Kafka belum meminta maaf kepada Air, Kafka belum menebus semua dosa-dosa nya kepada Air, dia belum bisa jadi seorang kakak yang baik bagi adiknya, Kafka akui dia memang brengsek tapi dia hanya meminta satu hal kepada yang di atas, dia ingin adiknya kembali ke pelukannya.

Kafka menatap rumah kecil yang ada di halaman rumahnya, tetes demi tetes air mata Kafka mulai berterjunan membasahi pipi mulus Kafka, bagaimana bisa Kafka membiarkan adiknya itu tidur di tempat kumuh, kecil, dan menjijikan seperti itu, pasti rasanya tidak nyaman, pasti di sana Air kedinginan sekali, sedangkan dirinya lihatlah kamar yang begitu besar, megah, dan bersih itu, jauh berbeda dengan tempat adiknya saat ini.

"Maaf, maafin Abang dek, maafin Abang," ucap Kafka sambil menundukkan kepalanya, tangannya terkepal erat saat rasa penyesalan dan rasa bersalahnya terus menghantui Kafka.

"Maafin Abang, hiks... Abang minta maaf."

"Pulang."

"Pulang dek."

"Pulang."

Kafka terus mengucapkan kata itu beberapa kali sampai tubuhnya melorot ke bawah lantai karena kakinya yang sudah tidak sanggup lagi untuk menopang tubuhnya.

"Pulang ke rumah kita."

"Abang," Azka berjalan ke arah Kafka, selama satu bulan penuh Azka memang sering terapi untuk bisa berjalan sampai saat ini pasca operasi, tentu saja di temani oleh Arsares yang tidak pernah absen untuk menemani Azka terapi.

"Abang kenapa?"

"Pulang dek," Kafka masih tidak menyadari keberadaan Azka di sampingnya.

"Abang kenapa? I--ini Azka bang."

Kepala Kafka menoleh ke arah Azka yang ada di sampingnya, mata yang sembab itu terus mengeluarkan air matanya yang sangat banyak.

"I--ini Azka bang, Adek ab--"

"Lo bukan adek gue, LO BUKAN ADEK GUE!" Tangan Kafka hampir saja menampar wajah Azka, tapi untungnya ada Fahri yang sigap menahan tangan Kafka.

"Pergi! PERGI! LO BUKAN ADEK GUE! BALIKIN ADEK GUE BANGSAT! GUE TAU, GUE TAU LO YANG UDAH SINGKIRIN DIA DARI KELUARGANYA SENDIRI! LO MANUSIA HINA! LO GAK PANTAS HIDUP!"

"Abang....," Lirih Azka saat dia di bentak seperti itu oleh Kafka.

"ADA APA INI?!" Tiba-tiba Arsares datang dan menghampiri mereka semua.

"BALIKIN ADEK GUE! BALIKIN!!" Kafka terus memberontak dan berteriak histeris.

PLAKKK

"SADAR KAFKA! DIA ADIK KAMU! DAN DIA BUKAN ADIK KAMU DIA CUMA ANAK PEMBAWA SIAL!"

"DIA YANG PEMBAWA SIAL YAH! GARA-GARA DIA, SEMUANYA GARA-GARA DIA!"

"BODOH KAMU KAFKA BODOH!"

"Tuan, tuan sudah," Fahri memeluk tubuh Kafka yang terus memberontak.

"Lepas!!"

"Kita pergi dari sini," Arsares menarik tangan Azka untuk segera pergi.

"Tuan dengerin saya! Dengerin saya dulu okey," Fahri mencoba menenangkan Kafka yang menangis.

"Tolong bantu cari Air Om," ucap Kafka.

" sekarang kita ke rumah sakit, Air ada di sana."

Deg

"O---om om serius? Om gak bohong kan? Om gak bercanda?" Tanya Kafka mencoba meyakinkan sekali lagi, dan di balas anggukan oleh Fahmi.
______________

Brak

"Ma---maaf," lirih Kafka saat dia mendobrak pintu ruang rawat Air, saat di sana ternyata masih ada dokter dan suster yang sedang menangani Air.

"Tidak apa-apa," ucap dokter itu.

"Hemm apa di sini ada orang tua pasien?"

"Saya kakak nya dok," ucap Kafka.

"Baiklah, nanti sore hasil lab nya keluar, saya meminta kamu datang ke ruangan saya ya."

"I---iya makasih," ucap Kafka.

Kafka berjalan ke arah Air yang masih tertidur lelap di atas tempat tidurnya, air matanya terus menetes melihat bagaimana menderitanya Air, mata yang bengkak, wajahnya yang penuh dengan lembab, dan juga tubuh yang lainnya terutama di bagian kaki dan tangan.

"Maaf," Kafka tertunduk, entah harus apa lagi yang harus kafka lakukan setelah ini.

"Dek."

"A---abang," lirih Air, mata sebelahnya yang masih mampu terbuka sedikit melirik Kafka.

AIR JADI BINTANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang