Pertemuan Tak Direncanakan - Siapa Dia?

12.6K 732 8
                                    

Dihari janji temu kami, aku cepat-cepat menyelesaikan sebagian pekerjaan ku sebelum makan siang supaya bisa keluar jam makan siang dengan cepat, mumpung si bos lagi meeting seharian. Kami berjanjian di suatu restoran yang tak begitu jauh dari kantorku. Setelah sampai ke restoran yang dimaksud aku segera mengarahkan pandanganku mencari ibu Mathilda karena katanya dia sudah sampai duluan. Ku lihat seorang wanita paruh baya sedang duduk dan tersenyum begitu melihatku. Aku segera menghampiri dan mencium pipi kanan kirinya.

"Ibu, apa kabar? Senang sekali bisa melihat ibu lagi" sapaku kepada ibu Mathilda.

"Kabar ibu baik nak, kamu juga bagaimana kabarnya" jawab ibu Mathilda

"Kabar Saya sama seperti ibu kok" balasku

"Anak mu bagaimana? Sehatkan?"

"Anak Saya baik dan sehat-sehat saja bu" jawabku sambil tersenyum padanya.

Lalu kami segera memesan menu untuk makan siang kami sambil berbincang-bincang ringan. Tetapi beberapa kali ku perhatikan ibu Mathilda gelisah dan sesekali melongokkan kepalanya kearah pintu masuk restoran.

"Bu, ada apa bu? Apa ibu lagi janjian dengan orang lain juga?" tanyaku pada akhirnya.

"Oh itu nak, ibu sedang menunggu anak ibu datang kesini. Tadi dia janji mau datang menemani ibu juga tapi kok sampe sekarang belum datang ya?" keluhnya sambil melihat handphonenya. Aku hanya ber oh ria saja menanggapi penjelasan ibu Mathilda. Lalu dia menelepon seseorang disana, kelihatannya sih anaknya yang dia tunggu.

"Cepet dong kesininya, ibu sudah daritadi ini nunggu kamu yang tidak datang-datang"

.....................

"Ya sudah cepat ya"

"Maaf ya nak Vanka, tadi ibu sudah janjian dengan anak ibu juga"

"Tidak apa-apa bu" sahutku

Tak lama kemudian datang seorang lelaki yang menurutku terlihat cukup macho menghampiri ibu Mathilda yang kurasa ini anak yang sedari tadi dia tunggu. Lelaki itu menyapa dan mencium pipi ibunya sambil mengatakan alasannya terlambat datang. Tanpa mau repot-repot melihatku apalagi menyalamiku lelaki itu duduk di sebelah ibunya.

"Nak Vanka, ini anak saya" ibu Mathilda memperkenalkan ku dengan lelaki tadi.

Dengan sopan ku ulurkan tanganku padanya dan dengan aura dingin dia menyebutkan namanya "Fanno"

"Beuuh sombong banget ni cowo satu. Ganteng sih ganteng tapi lagaknya itu lho lempeng ga ada senyum, selempeng patung arca yang keras membatu.

Lalu aku dan ibu Mathilda melanjutkan kembali perbincangan kami dan si patung arca itu sesekali menimpali dengan enggan. Tiba-tiba dia mengatakan sesuatu pada ibunya yang membuatku agak kaget. "Bu...ini perempuan yang mau ibu kenalin ke aku? Dimana letak istimewanya sih bu" matanya melirik sinis ke arahku.

Hah....whatttt? aku bingung dan kaget mendengar pertanyaannya yang lebih tepat disebut dengan pernyataan.

"Lho Mas jangan seperti itu dong. Vanka ini seorang pekerja keras loh Mas dan punya karir cemerlang" ibu Mathilda menjawab pertanyaan anaknya. Lagi-lagi perkataan ibu Mathilda membuatku bingung dan bertanya-tanya ada apa gerangan sebenarnya karena membawa-bawa namaku kalau aku tidak salah dengar tadi.

"Halahh bu...paling sama saja dengan wanita-wanita lainnya yang mempergunakan fisiknya untuk menjilat atasannya agar bisa duduk di posisi yang penting dalam perusahaan. Wanita yang sama pada umumnya yang hanya mengandalkan materialistis semata untuk membuat nyaman hidupnya" sahut lelaki itu.

Emosiku menggelegak mendengar perkataan lelaki sok tahu itu, wajahku memerah menahan emosi dan air mata. Sebegitu rendahkah harga seorang wanita dimatanya. Apa dia pikir wanita hanya punya fisik semata untuk menampilkan kelebihannya. Aku tak bisa membiarkan lelaki ini seenaknya saja menghina hidupku yang bahkan belum 1 jam dia kenal. Segera aku berdiri dari duduk ku dan mengacungkan tanganku ke wajahnya. Bahkan aku sampai lupa kalau lelaki itu adalah anak ibu Mathilda, biarlah. Lelaki seperti dia memang perlu dibuka dari pikirannya yang sempit dan picik. Siapa dia berani menilai hidupku.

"Heh Bapak Fanno yang terhormat, tau apa Bapak soal hidup saya hah?! Seenaknya saja membuat penilaian atas diri saya"

"Saya ini masih punya kepandaian walau hanya sebagian kecil saja untuk memperlihatkan prestasi kerja Saya bukan dengan mengandalkan fisik semata sebagai cara untuk menaikkan derajat Saya. Dan harap Bapak catat ya kalau Saya ini bukan perempuan yang silau dengan benda-benda yang fana. Kalaupun Saya mempunyai benda-benda yang membuat Saya terlihat seperti wanita materialistis, itu Saya dapatkan karena kerja keras Saya bukan dengan cara memenorkan bibir dan meliuk-liukkan tubuh di depan mata para lelaki". Satu lagi Pak...apa Bapak tidak sadar kalau ibu anda adalah seorang wanita juga dan seenaknya saja Bapak menilai wanita dengan sekali pandangan mata.

Tanpa menunggu lama-lama aku segera mengambil task u dan mengambil ancang-ancang untuk pergi. "Saya rasa Saya harus segera pergi ibu Mathilda. Maaf kalau Saya lancang berteriak pada anak ibu. Saya permisi dulu bu"

"Aduh nak Vanka, maaf ya buat kamu jadi tidak enak seperti ini, sungguh Ibu tidak bermaksud menjadi seperti ini" sesalnya.

Kalau kamu ingin kembali ke kantor biar kami antarkan saja ya"

"Terima kasih bu, tidak usah repot-repot"

"Kalau untuk kembali ke kantor Saya rasa Saya masih sanggup untuk membayar ongkos taksi sendiri bu" kukatakan kalimat itu dengan penekanan sambil melirik sinis kepada lelaki sok tau itu.

"Vanka pamit ya bu" aku memeluk ibu Mathilda dan mencium pipinya sekilas.

"Maafkan ibu sekali lagi ya nak kalau suasananya jadi seperti ini. Ibu harap kamu masih mau berbicara dengan ibu" pintanya dengan memelas.

"Tidak apa-apa bu, Saya sudah terbiasa menghadapi penghinaan seperti ini. Ibu tenang saja ya, kita masih bisa berteman" aku memaksakan sebuah senyuman padanya. Segera saja ku ayunkan kaki ku keluar restoran itu dengan mendongkol setengah mati, ingin rasanya menangis dan berteriak sekencang mungkin melepaskan emosi ku. Kenapa sih aku harus selalu menjadi wanita yang terluka oleh mahluk yang namanya laki-laki. Apa yang salah dengan ku sih?

Laki-laki sok tau itu membuatku mood ku terjun bebas pada sisa waktu kerjaku yang membuat pekerjaanku jadi kacau balau. Aarghhhh...aku mengetuk-ngetukkan jari ku pada keyboard laptop ku dengan kencang karena menahan kesal.

Aku segera menghubungi Rara untuk ketemuan pada sore nanti. Aku butuh Rara untuk mendengarkan keluh kesahku, Rara selalu siap menemani ku dan setia mendengarkan ceritaku. Aku sangat bersyukur mempunyai sahabat seperti Rara. Terkadang Rara hanya mendengarkan saja cerita ku dan hanya menjawab ketika ku ajukan pertanyaan padanya. Dia tau kapan aku butuh untuk didengar dan kapan aku butuh pendapat. Seperti sore ini dia mendengarkan semua ceritaku akan kejadian tadi siang. Dengan sabarnya dia mendengarkan ceritaku yang penuh luapan emosi dan ketersinggukangku akan perkataan lelaki tadi. Setelah aku selesai bercerita dia hanya bertanya singkat "sudah ceritanya Van?" aku mengangguk pada Rara. Dia segera mengangsurkan tangannya dan memelukku dengan penuh kasih sambil membelai rambutku. Aku menangis di pelukannya menumpahkan semuanya sampai membuatku lega. Lagi-lagi Rara hanya bertanya "sudah lega Van?. Kalau sudah lega yuk kita pulang, ga baik cewe-cewe cantik kayak kita pulang malam-malam...bisa digondol maling nanti". Ah Rara memang selalu bisa membuatku tersenyum. Aku bersyukur pada Tuhan karena sudah mengirimkan orang seperti dia untuk menjadi sahabatku dan menemaniku.

Setelah pertemuan pada siang itu, ibu Mathilda selalu meneleponku. Tak henti-hentinya dia meminta maaf padaku. Dia mengatakan bahwa tadinya dia mau mengenalkanku pada anak laki-lakinya tanpa sepengetahuanku yang pada akhirnya sukses membuatku sakit hati. Ku katakan padanya terlepas dari kejadian tak mengenakkan itu, bukan berarti kami tak bisa mengobrol-ngobrol lagi. Dia tetap menjadi sahabat tuaku, temanku berbicara seperti seorang ibu kepada anaknya. Beberapa kali dia juga kembali mengajak ku bertemu tetapi aku tak bisa memenuhinya karena aku memang cukup sibuk sekali.

Tentang HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang