Part 16 - Biar Hati yang Bicara

11.5K 608 3
                                    

Jika cinta itu menyesakkan dada, untuk apa dia tumbuh di hati
Jika cinta hanya bisa menyakiti, untuk apa dia hadir
Tetapi jika cinta itu kembali tumbuh di tanah yang lain, bisakah dia tumbuh subur lagi?

Aku berusaha melupakan pertemuan sialku dengan Rendra, ku fokuskan pikiranku pada pekerjaan agar tak kembali mengingat perih yang kemarin ada lagi. Ku abaikan semua usaha-usaha Rendra untuk bertemu denganku lagi. Semua pikiran carut marut di otak ku membuatku jadi pening dan lebih sering emosi saat berada di kantor. Bahkan aku hampir saja melupakan rencana ulang tahun ibu Mathilda kalau Vanno tidak mengingatkanku.

Surprise party itu berlangsung dengan lancar. Semua usaha kakak beradik itu membuahkan hasil yang baik. Ibu Mathilda sangat senang mendapat semua kejutan dari kami, senyum tak pernah lepas dari wajah teduhnya dan aku turut merasakan kebahagiaan yang sama dengannya. Sebuah pesta sederhana dihadiri kerabat dekat serta anak-anak yang mencintainya berhasil membuat dia tersenyum sepanjang acara dan mengembalikan binar bahagia dalam kehidupannya yang sempat hilang.
Aku bahkan larut dalam haru mendengar ucapan selamat dan doa yang tulus dari kedua anaknya.
Aku jadi teringat akan perkataannya di acara waktu.

"Sejak kapan kalian berdua menjadi akrab begini sampai-sampai bisa kompak memilihkan kado ini buat Ibu?" ibu Mathilda memutar bola matanya dan melemparkan pandangan ke arah ku dan Vanno.

"Sejak bendera putih dikibarkan bu" jawabku ceplas ceplos yang disambut dengan derai tawa.

"Hmmm tapi kalian berdua memang kelihatan serasi ya" ibu Mathilda berkata sambil menaruh telunjuknya di pelipis, persis seperti orang yang lagi memikirkan suatu rencana.

"Alangkah bahagianya Ibu kalau kalian bisa bersama sebagai pasangan"

Tak hanya itu saja yang menjadi pikiranku. Tiba-tiba saja Vanno memintaku untuk bersama-sama dengannya mengubah masa depan menjadi lebih baik. Bukan, bukan pernyataan cinta yang keluar dari bibirnya. Tetapi pernyataan yang bermakna ambigu itu membuatku selalu bertanya-tanya, semua terasa ganjil di mataku karena dia mengatakan tidak perlu menjawab ajakan dia pada saat itu juga.

Ah sudahlah...kembali semua ku pasrahkan padaNya. Tentu aku ingin bahagia, sangat ingin malah tetapi aku masih dipenuhi dengan ketidaksiapan, aku belum menemukan kepastian di dalam sana. Biarlah hati yang berbicara dan takdir akan menjawabnya.

Yak...bikin part ini pas lagi gundah gulana dan emosi tingkat dewa.Pokoknya lagi galau segalau-galaunya.Akhirnya daripada marah-marah ga jelas, mendingan ngetik lanjutan cerita inih.
Salam piss

Tentang HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang