Part 18 - I don't Know but I Believe (Repost)

11.6K 606 9
                                    

Part ini aku repost karena ada beberapa reader yang tidak bisa menerima update atau tampilannya kosong,entah mengapa bisa begitu.
Nah,selamat membaca ^_^
.
Tak kusangka memimpin project ini sangat sulit, tak semudah bayanganku dan banyak kendala disana sini. Kalau begini aku merasa kalau bos ku sudah membohongi ku dengan mendorongku menerima tantanngan ini, ya tapi ga mungkin juga kan. Sudah banyak klien yang menyatakan kesediaannya untuk menjadi partner dalam memasarkan produk yang tengah kami rancang, tetapi justru itulah yang membuatku pusing. Pusing menanggapi partner yang sangat rewel meminta ini itu sekehendak mereka, semua harus dipenuhi sesuai dengan keinginan mereka, bahkan tak jarang konsep yang kuajukan ditolak mentah-mentah oleh mereka, membuatku memutar ulang otak ini untuk mengkonsep ulang semua materi untuk memenuhi mau mereka.

Arrrrhhhh...aku berteriak dan mengetuk-ngetukkan jariku di keyboard laptop dengan frustasi membuat teman-teman satu ruangan mengarahkan matanya kepadaku.

"Kenapa kau" tanya teman sebelahku.

"Otak ku jadi jelly, mampet ga bisa mikir. Mentok sana sini" jawabku dengan nada frustasi.

"Ya sudah, pulang lah kau. Istirahatkan otakmu dulu sob. Sudah berhari-hari ku lihat kau terlalu memaksakan diri, pulang selalu larut bagaimana otak mu ga mau mampet. Santai sejenak sob, biar otak mu fresh lagi. Ngopi-ngopi cantik kek atau kau pergi kemana-mana kek dengan pacarmu"

Ucapan terakhir temanku membuatku mengingat Vanno. Sudah hampir sebulan sejak perdebatan terakhir itu, kami tak pernah bertemu lagi. Dia sempat menghubungiku tetapi pada waktu itu aku masih tidak mau menerima panggilannya, masih belum siap dan dia pun tak mencoba menghubungiku lagi. Pada akhirnya karena kesibukan pekerjaanku membuatku lupa untuk sekedar mengubungi Vanno kembali bahkan Vandra pun menjadi tak ku perhatikan belakangan ini karena waktu ku yang banyak tersita untuk pekerjaan. Masalah dengan Rendra pun cukup menyita perhatianku membuat ku pusing alang kepalang. Rendra bagaikan teror yang menghantuiku siang dan malam, membuatku was-was setiap waktu. Segala macam cara dia lakukan untuk merebut kembali perhatianku. Aku sampai berpesan pada Neni untuk tidak membukakan pintu buat Rendra kalau tiba-tiba dia datang ke apartemenku.

"Eh ni orang malah bengong, bukannya cabut" suara temanku menyadarkanku kembali dari lamunanku.

"Iya deh, gw cabut dulu. Mudah-mudahan ni otak besok udah bisa diajak kerjasama lagi ya" jawabku sambil menerima saran temanku.

Tepat pada saat aku akan meraih tas, handphoneku berbunyi. Ku rogoh-rogoh tas ku untuk mencari handphoneku dan melihat siapa yang menghubungiku. Dahiku mengeryit melihat nama Tania tertera di layar, tumben banget ini bocah meneleponku.

"Hai Tan" sapaku pada Tania di seberang telepon.

'Hai Mba Vanka, apa kabarnya?"

"Baik Tan. Gimana kabarmu?"

"Aku baik kok mba"

"Mba...masih di kantor? lagi sibuk ga?" tanya Tania

"Masih Tan...ya gitu deh. Kenapa Tan?"

"Ga apa-apa mba, cuma heran aja kok tumben mba ga main-main kesini"

"Oh itu...maaf Tan, mba lagi sibuk banget nih. Tiap hari berasa dikejar-kejar ama deadline"

"Hehehe mba bisa aja" Tania terkekeh di ujung sana

"Ehem...mba, tapi mba lagi ga ada masalah sama mas Vanno kan" tanya Tania dengan hati-hati.

Aku menarik nafas sebelum menjawab kembali pertanyaan Tania

"Ga ada kok Tan. Mba ga ada masalah dengan mas Vanno"

Tentang HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang