Jika untuk mendapatkan kebahagiaan aku harus menerima kepedihan terlebih dahulu, aku rela menerimanya Tuhan, aku ikhlas
Asalkan bukan kebahagiaan semu yang ada di tanganku
Bolehkah aku memintanya Tuhan?
Meminta supaya kebahagiaan sejati hadir abadi untuk ku
Kalau boleh akan ku tukar air mataku yang kemarin-kemarin dengan itu
Tetapi patutkah manusia menyatakan ikhlas tak ikhlas dengan takdir Sang Kuasa?************************************
Perlahan hubunganku dan Vanno mulai membaik. Aku belajar untuk mempercayakan hatiku padanya dan begitupun sebaliknya. Kesehatan Vanno pun mulai membaik dan kami kembali disibukkan dengan pekerjaan masing-masing.
Sebenarnya masih ada satu masalah yang harus kuselesaikan, yaitu masalah mas Rendra. Tak henti-hentinya dia berusaha mengambil hatiku yang membuatku makin muak padanya. Mulai dengan cara mengirimkan bunga beserta kartu ucapan ke apartemenku yang tentunya akan berakhir di tong sampah. Setiap cara yang dia lakukan membuatku makin mengingat kejadian yang lalu, yang tentunya dengan cara yang sama dia memikat wanita jalang itu.
Keberadaan Vanno di sampingku membuatku makin bersemangat menghadapi pekerjaanku. Dia membesarkan hatiku kala aku sedang frustasi menghadapi kendala soal pekerjaan di sana sini. Memang aku belum terbuka soal Rendra padanya, aku belum siap menceritakannya karena aku pun masih meraba-raba hatinya. Biarlah kuhadapi semua ini sendiri dulu.
Aku pun menepati janjiku untuk membawa Vanno menemui Vandra dan mengajaknya merayakan ulang tahunnya. Vandra bersemangat sekali menyambut janjiku, pagi-pagi sekali dia sudah membangunkanku.
Suara bel di pintu depan membuatku mengalihkan perhatian dari kesibukanku menyiapkan sarapan untuk Vandra. Aku pun bergegas ke depan untuk membukakan pintu. Sebuah senyum manis dan sapaan lembut dari Vanno menyambutku ketika pintu terbuka. Aku mempersilahkan dia untuk masuk dan menungguku di sofa depan. Vandra menyusulku untuk bertanya siapa yang datang di pagi ini, sepertinya dia cemas kalau aku akan membatalkan janjiku karena tamu yang datang."Siapa Bun yang datang?" suara kecil Vandra bertanya.
Tiba-tiba Vanno berdiri dan menghampiri Vandra. Dia berlutut untuk mensejajarkan dirinya dengan Vandra seraya tersenyum pada Vandra.
"Hallo cantik, siapa namamu?" sapa Vanno dengan hangat.
"Namaku Vandra om, kalau om siapa?" tanya Vandra sambil mengulurkan tangannya.
"Om adalah teman bunda kamu, kamu bisa panggil om....Yanda"
"Oh...om Yanda ya namanya?" balas Vandra dengan lugu.
"Bukan...panggil saja om dengan Yanda. Tuh coba tanya bunda kamu, benar tidak?"
Vanno mengalihkan matanya padaku, seolah meminta persetujuan padaku. Jujur saja aku terkejut dengan perkataan Vanno yang tiba-tiba itu kepada anak ku. Tetapi melihat dia seperti itu, terbersit perasaan lega, lega karena dia bisa menerima diriku dan juga keberadaan Vandra. Ku jawab isyarat darinya dengan senyuman yang dibalasnya dengan kedipan mata dari Vanno.
"Bunda..." panggilan Vandra yang menunggu reaksiku membuatku menoleh padanya dan pelan-pelan aku menghampiri dia.
"Iya sayang...Vandra boleh panggil om ini Yanda ya" aku mengatakan padanya seraya mengusap kepalanya yang dijawab dengan anggukan kepalanya.
Aku bersyukur Vandra adalah tipe anak yang manis dan mau mendengarkan aku sebagai ibunya walau dalam usia semuda ini dia turut merasakan kepedihan akibat ulah ayahnya."Ya sudah, Vandra sarapan dulu ya. Panggil mba Neni biar bantu kamu, bunda mau siap-siap dulu"
"Mas, aku tinggal sebentar ya"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Hati
RomanceAku mencintainya dengan segenap hatiku. Kuberikan pengabdian tiada batas untuknya. Kuletakkan kesetiaanku pada tempat yang paling tinggi. Tapi... Itu semua hanya menjadi keping yang terserak tanpa bisa dipungut lagi. Aku berharap melabuhkan bahtera...