Diriku, Dirinya

12.2K 648 3
                                        

Wanita itu sukses membuatku merasa bersalah atas perkataannya yang berapi-api itu padaku di pertemuan tempo hari itu. Jujur saja aku kesal dengan ibuku yang memaksaku untuk terus bertemu dengan perempuan yang menjadi sahabatnya akhir-akhir ini yang katanya perempuan yang istimewa dan luar biasa. Aku tak percaya begitu saja dengan ibu, aku mencurigai perempuan itu mendekati ibu dengan maksud lain dan berusaha memaksa ibu untuk mengenalkannya padaku. Tetapi melihat begitu emosinya dia padaku membuat ku ragu atas penilaianku padanya.

Ya semua penilaian itu bukan tanpa sebab. Kegagalan pernikahanku ketika aku sudah mencurahkan semua rasa cintaku pada mantan istriku, memberikan kesetiaan padanya seumur hidup pernikahanku tapi aku hanya mendapati kenyataan bahwa mantan istriku meninggalkanku hanya karena dia mendapatkan pria yang katanya lebih segalanya dariku padahal aku sudah berusaha memberikan segalanya dan memfasilitasi dia dengan lebih dari cukup. Hal itu membuatku jadi frustasi dan pada akhirnya mencap perempuan hanya mahluk materialistis yang mempergunakan segala macam cara untuk mendapatkan kesenangannya.

"Ah masa bodo...kenapa juga gw musti repot-repot mikirin perasaan dia sih. Udah pasti perempuan itu ga bener" rutukku dalam hati. Mending sekarang aku fokus menyiapkan saja bahan-bahan untuk meeting besok pagi. Kembali aku menenggelamkan diri pada pekerjaanku hingga tanpa kusadari langit sudah gelap menunjukkan sudah malam. Malam ini aku ingin pulang ke rumah ibu, aku rindu padanya dan juga adik ku yang super cerewet itu.

Hari sudah larut ketika kaki ku sampai di rumah ibu. Padatnya jalanan di kota besar seperti Jakarta ini membuatku menghabiskan waktu berjam-jam untuk sampai ke rumah ini, rumah masa kecilku. "Hmmm pasti ibu sudah tidur" gumamku. Ku langkahkan kaki menuju kamarku dan memutuskan untuk segera beristirahat agar besok bisa bangun pagi-pagi sekali dan mengobrol dengan ibu.

Aku merasakan tangan yang hangat mengusap-ngusap kepalaku dalam tidurku. "Mas, bangun sayang. Memangnya kamu ga kerja nak?" kurasakan ada tangan lembut mengusap-usap rambutku dan suara lembut yang kurindukan membuatku membuka mata sedikit demi sedkit, sudah pagi rupanya. Aku berusaha bangun sambil mengumpulkan kembali nyawaku untuk segera bangkit dari kasur nyaman ini.

"Kok ibu tau kalau Vanno pulang? Kan semalam ibu sudah tidur"

"Mbok Nah yang ngasih tau ibu kalau kamu semalam pulang larut sekali"

"Ada apa Mas, kok kamu tumben pulang?" Tanya ibu dengan pelan.

"Emang Vanno ga boleh pulang ya bu? Harus ada alasan gitu buat pulang?" rajuk ku macam anak kecil minta dibelikan permen.Entah mengapa kehangatan ibu selalu membuatku kembali seperti bocah kecil."Vanno kangen sama ibu dan Tania yang super cerewet "

"Hahaha...ibu senang kalau kamu inget pulang Mas. Kirain masih marah sama ibu gara-gara kejadian siang itu"

Perkataan ibu membuatku jadi mengingat lagi pertemuanku dengan perempuan bernama Vanka itu. "Emang ibu kenal Vanka dimana sih bu? Kok bisa akrab banget ama dia?" akhirnya kutanyakan juga hal itu pada ibu.

"Ibu kenal dia waktu ibu kontrol rutin ke dokter. Kamu waktu itu nganter ibu cuma kamu lagi pergi ke apotik waktu ibu kenalan dengannya makanya kamu ga pernah liat dia".

"Entahlah...ibu melihat kesederhanaan dan ketulusan dalam dirinya, terlihat ketika dia membantu temannya".

"Ibu terdorong saja untuk berkenalan dengannya dan bertukar-tukaran nomor telepon untuk berjanji saling menghubungi. Tidak salah, pikiran ibu terbukti kalau dia bisa menjadi teman ibu bercerita. Ibu seperti bisa merasakan kerinduan dalam dirinya akan sosok seorang ibu".

"Oh begitu ya bu" aku hanya manggut-manggut setengah percaya pada penilaian ibu pada perempuan bernama Vanka itu.

"Eh kamu ga kerja Mas?" tiba-tiba ibu menyadarkanku.

Tentang HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang