Cinta Berbalas Dusta

11.3K 632 8
                                    

Akhirnya presentasi kami satu tim kepada klien penting kami berakhir dengan sukses. Kelihatan mereka sangat puas dengan paparan materi yang kami sajikan dan akan segera mengatur langkah lebih lanjut. Jadi semangat kerja jadinya kalau kayak gini walau tadi pagi sempat hampir hancur karena kesialan yang terjadi beruntun.

Kami memutuskan untuk pergi makan siang dulu ke restoran sekitar perkantoran ini sebelum kembali lagi ke kantor kami. Kebetulan sudah jam makan siang dan rasanya kami perlu melepaskan ketegangan akibat meeting panjang tadi barang sejenak. Beriringan kami segera berjalan ke restoran yang menjadi tujuan kami. Tiba disana meja-meja mulai banyak terisi penuh, beruntung masih tersisa tempat untuk kami. Pelayan restoran pun mengarahkan kami ke meja yang dapat menampung aku dan rekan satu tim ku bersantap siang. Tak perlu lama-lama kami segera menekuni buku menu di tangan masing-masing dan segera memesan menu untuk kami santap. Kebersamaan seperti ini suatu keriangan tak terkira dalam melepas penat akan pekerjaan kami. Bersama rekan-rekan terkadang membuatku sejenak melupakan beban persoalan yang menghimpit hidupku. Rasa kekeluargaan, canda tawa dan guyonan ringan pelengkap riangku, salah satu nikmatNya yang ku syukuri.

Aktivitas hari ini cukup menguras tenagaku dan celakanya aku harus bergulat lagi dengan kemacetan untuk bisa pulang ke rumah. Huh...beginilah diriku yang sekarang ini, mempertaruhkan semua hidupku untuk malaikatku. Ungkapan kepala jadi kaki dan kaki jadi kepala membenarkan apa yang ku lakukan sekarang ini, seandainya saja aku bisa berbagi mungkin semuanya akan terasa lebih ringan. Namun ku ingat kembali tekadku, ketika aku pertama kali memutuskan memulai babak baru kehidupanku. Bukan suatu bentuk keegoisan tetapi lebih kepada rasa sakit hati yang tak termaafkan.

Ku kemudikan kendaraanku dengan pasti, rasa rindu pada buah hatiku membuatku ingin cepat sampai di rumah.

Vandra sudah tidur ketika aku tiba di rumah, ah.. sekali lagi aku melewatkan kesempatanku untuk bermain bersamanya. Ku pandangi wajah malaikat kecilku, terbersit rasa bersalah padanya karena aku menyumbangkan kepedihan dalam hidupnya. Dalam usia semuda ini ku paksa dia untuk tumbuh menjadi pribadi yang mandiri, tumbuh tanpa figur orang tua yang sempurna. Dia memang tak pernah bertanya lagi soal ayahnya tetapi aku sangat tahu kalau dia sangat mendambakan figur seorang ayah dalam hidupnya. Dia selalu memandang iri teman-temannya ketika melihat mereka bersama dengan ayah-ibunya.

"Maafkan bunda nak. Bunda harus membawamu dalam kepedihan" bulir bening luruh dari sudut mataku saat mengusap rambutnya.


Ku pertanyakan kembali kisah hidupku padaNya. "Tuhan...sepahit inikah kisah hidupku? Serumit inikah jalan hidupku? Terlalu egoiskah aku karena menuruti rasa sakit hatiku". Tak ayal sudut mataku mengalirkan kembali bulir-bulir bening.


Ironis sekali, ketika hampir semua orang mengatakan betapa manis parasku dan bagus bentuk badanku tetapi justru dalam keadaan seperti itu aku ditinggalkan oleh pasangan hidupku, aku dibuang layaknya sampah setelah mengabdi dengan penuh kesetiaan padanya. Cinta berbalas dengan dusta, pengkhianatan di atas kesetiaan dan pengabdianku, perih menyanyat. Ingin rasanya kubuang jauh-jauh rasa pahitku tetapi semua seperti selalu bermain dalam memori otak ku.

Masih tidak rela, mungkin belum ikhlas.

Seperti kristal yang dirawat baik-baik dan dijaga hati-hati lalu suatu waktu dibanting, dilepaskan dari ketinggian lalu pecah, hancur berkeping-keping. Kepingannya pun tak bisa dikumpulkan lagi.

Inginnya berteriak, mencakar, mengaduh, merobek bahkan membunuh.

Tapi apa daya...hati tak diciptakan untuk bisa melakukan semua itu.

Lagi-lagi aku hanya bisa pasrah pada permainan takdir, ku ikuti kemana Sang takdir membawaku pergi.

Tentang HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang