Part 17 - If I Asked Will You Say Yes?

11.4K 568 9
                                    

Semenjak surprise party itu kami menjadi semakin akrab. Aku, ibu, Tania dan Vanno sering menghabiskan waktu bersama. Begitu pun dengan aku dan Vanno, kami berdua sering meluangkan waktu bersama. Tak ku ambil pusing mengenai pernyataannya waktu itu, berusaha menjalani semua sewajar mungkin. Aku menemukan kenyamanan saat bersama dengannya, dia menjadi teman yang pas untuk berdiskusi dan tak pelit berbagi ilmu. Terkadang kami bisa bersenda gurau dan tertawa lepas di saat penat memenuhi kepala kami akibat pekerjaan kami.
Ini semua sudah bukan tentang cinta dua anak muda yang sedang kasmaran, hanya perasaan dua orang dewasa yang sedang saling menyembuhkan. Kami berdua sama-sama pernah mengalami keterlukaan lalu jatuh dalam kepahitan. Kami hanya berusaha saling memahami dan berusaha menumbuhkan lagi kepercayaan secara perlahan. Kami berdua hanyalah dua insan yang tentunya mendamba bahagia, entah ke depannya dengan cara apa dan bagaimana. Biar saja waktu yang akan menuntun kami dan menyingkap tabir yang masih penuh misteri itu.

Aku sebagai perempuan yang pernah tersakiti sangat dalam hanya berusaha mencari lagi kepercayaan diri yang sempat runtuh, menjahit kembali luka yang terlanjur ada. Aku tak pernah tau apa maksud Sang kuasa atas semua skenario hidup yang ku lakoni. Aku hanya bisa menyorongkan tanganku padaNya seraya menengadah dalam doa padaNya, memohon jawaban atas hidupku. Aku tak ingin terlalu cepat menyimpulkan isi hatiku, Vanno memang tak pernah membahas lagi ajakannya waktu itu.

Di hari-hari libur, kami berusaha menyempatkan diri untuk saling bertemu melepaskan penat dengan obrolan-obrolan yang menentramkan hati. Hingga suatu saat dia mengajak ku ke tempat pribadi miliknya, sebuah rumah yang mungkin dibeli dengan tujuan khusus. Sebuah rumah yang juga ku yakin di desain dengan maksud khusus dari pemiliknya, hanya satu yang terasa kurang pada rumah itu namun aku tak dapat menemukan apa kekurangannya.

Secangkir teh hangat menemani kami berbincang-bincang di sore yang cerah itu. Sebuah pemandangan taman mungil beserta kolam ikan kecil ditingkahi dengan suara gemericik air yang jatuh dari sebuah pancuran sebagai pelengkap taman mungil ini. Berbagai macam tanaman hijau, bunga dan lampu-lampu taman yang menghiasi sudut-sudut taman ini, seketika aku merasa rileks menghampiri kepalaku.

"Senang melihat pemandangan ini Van?" tiba-tiba suara Vanno menyadarkanku.

"Sangat...sangat senang. Kamu kan tau aku cuma punya apartemen dengan pemandangan jalan raya yang tiap hari selalu sumpek itu" aku menjawab pertanyaannya sambil memberengut seolah iri tak bisa melihat pemandangan ini setiap hari.

"Wah berarti dengan demikian aku bisa membuktikan kalau aku ini lelaki tampan yang juga bisa menjadi seorang arsitek dan penata interior yang hebat bukan" jawabnya dengan bangga sambil menaik-naikkan alisnya membuatku geli setengah mati.

"Tau deh yang pintar segalanya" jawabku menimpalinya.

"Ye...sirik tanda tak mampu" selorohnya yang langsung kusambut dengan tawa.

Kami pun melangkah menuju bangku untuk menikmati teh yang mungkin sudah setengah dingin dan melanjutkan obrolan kami.

"Vanka..." panggilnya dengan lembut yang membuat aku menoleh menghadap wajahnya dan seketika suasana terasa senyap.

"Iya Mas"

"Masih ingat dengan ajakan ku waktu itu? Bagaimana Van?"

"Apanya yang bagaimana Mas?" tanyaku gugup, seolah mengerti dengan arah pembicaraannya sebisa mungkin aku berusaha menampik sinyal-sinyal yang dia berikan.

"Kamu pasti tau apa maksudku" sahutnya masih dengan suara lembut.
Aku menuangkan teh di poci ke dalam cangkirku, kemudian menyesapnya perlahan. Ku hela nafas panjang untuk meredakan rasa yang berkecamuk dalam benak ku.

"Pernahkah kau merasa berdosa dengan orang tua kita, Mas?"

"Sembilan bulan ibu mengandung kita dan mempertaruhkan nyawa ketika melahirkan kita, meregang nyawa untuk menghadirkan kita ke dunia ini. Tapi apa balasan kita sebagai anak?"

Tentang HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang