Satu bulan kemudian ...
Setelah satu Minggu tinggal di rumah orang tua Queenzi dan satu Minggu di rumah orang tua Svarga, mulai hari ini keduanya akan pindah ke rumah yang baru. Berhubung hari ini Svarga harus ke luar kota menemui seorang klien penting, jadi dia tidak bisa lama-lama membantu istrinya itu beres-beres.
"Queen, aku ke Bandara sekarang ya. Kalau kamu capek tunggu aku aja beresin sisanya," pamit Svarga. Sejak tadi sekretarisnya terus menelepon, sehingga dia tidak bisa duduk tenang.
"Iya, nggak papa kamu fokus aja sama kerjaan, biar urusan rumah aku yang beresin," sahut Queenzi pengertian.
"Beneran nggak mau minta bantuan Bik Intan? Atau kita sewa jasa asisten rumah tangga buat sehari?" Svarga terus bernegosiasi agar Queenzi tidak repot sendirian.
"Nggak usah, Ga. Aku bisa kok, cuma sedikit ini. Lagian anak-anak katanya mau ke sini, jadi nanti ada mereka yang bantuin aku." Queenzi dengan lembut mendorong Svarga ke pintu, "buruan pergi, nanti kamu terlambat sampai Bandara."
Di depan pintu Svarga membalikkan badan, lalu merangkul pinggang Queenzi. "Kok kayaknya nggak sabar banget sih pengen ngusir aku?" Dia memicingkan mata.
"Aku kasihan sama Maudy neleponin kamu terus. Dia pasti khawatir kamu telat karena ini klien penting," ucap Queenzi sebagai alasan.
Svarga mengesah pasrah. Andai klien yang akan meeting dengannya ini bukan boss besar dari Sidarta Group, dia akan lebih memilih absen bekerja hari ini. Sejak menikah, malas selalu menjadi alasannya bolos ke kantor. Namun dikarenakan perusahaannya berkesempatan mendapatkan tender besar dari pengusaha Hotel itu, maka dia tidak bisa melewatkannya. Project senilai triliunan tidak boleh lepas dari genggaman.
"Ya udah, aku kerja dulu ya." Svarga mencium kening Queenzi, lama dan dalam. "Aku usahain pulang sore atau paling telat malem, nggak nginep."
Queenzi mengangguk dan tersenyum. Dia melambaikan tangan pada Svarga yang sudah masuk ke mobil bersama sopir pribadinya.
Setelah Svarga pergi, Queenzi masuk ke rumah. Dia lupa menutup pintu, langsung naik ke kamarnya di lantai dua untuk melanjutkan merapikan pakaian. Sedikitpun tidak ada curiga atau rasa takut, walau lingkungan di sini sepi dan mereka belum punya Satpam pribadi.
Hampir tiga puluh menit Queenzi sibuk dengan urusannya melipat baju dan menyusunnya ke lemari.
Sampai dia mendengar seperti mesin mobil berhenti di rumah itu, namun malah mengira yang datang Vanilla dan teman-teman lainnya. "Langsung naik aja ke kamar!" suruhnya tanpa mengecek terlebih dahulu. Dia masih sibuk menggantung kemeja Svarga ke dalam lemari.
Hingga lama kelamaan Queenzi mulai merasa ada yang tidak beres, sebab tidak biasanya Zela atau Vanilla tidak membuat keributan, minimal mereka berteriak mengomentari rumahnya.
"Vanilla," panggil Queenzi masih di posisinya depan lemari.
Tidak ada sahutan.
"Zela," panggilnya lagi.
"Come on guys, jangan becanda deh." Queenzi menaruh kemeja terakhir ke lemari, lalu menutup pintunya.
Dia melangkah ke luar dari ruangan walk in closet, menuju ke area tempat tidur. Namun baru beberapa langkah, dia dikejutkan dengan kehadiran seorang pria asing berpenampilan aneh di depan pintu kamarnya.
Pria itu cengengesan melihat Queenzi sambil berjalan mendekat. Wajahnya sangat kotor, begitu pula dengan pakaiannya yang compang-camping.
"A-anda mau apa? Keluar!" Queenzi meraba meja rias, mengambil ponsel miliknya di sana. "Saya akan telepon polisi," ancamnya menunjukkan layar ponsel yang tinggal tekan akan segera terhubung ke panggilan darurat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjanjian Pranikah #365 Hari
RomanceSvarga dan Queenzi pernah menjalin hubungan saat di bangku kuliah, namun kandas di tengah jalan. Beberapa tahun kemudian, keduanya kembali dipertemukan oleh takdir saat memergoki pacar mereka berselingkuh. Merasa sama-sama dikhianati, Keduanya pun m...