Part 29. Masalah Besar

7.6K 670 31
                                    

Saat Queenzi masuk ke kamar, Svarga sedang menelepon. Pria itu memberi kode dengan acungan telapak tangan agar dirinya jangan bicara dulu. Dia pun duduk di tepi ranjang menunggu suaminya itu selesai. Melihat ekspresi Svarga, sepertinya ada masalah yang cukup besar terjadi di luar masalah mereka.

"I'm really sorry, Mr. Frank. I will accept all the consequences, because this is indeed my fault." Svarga bicara dengan nada yang sangat sopan.

"Once again, I am sorry. Thank you." Setelah itu Svarga menutup telepon.

Seketika, Queenzi merasa lebih bersalah karena dirinyalah penyebab Svarga urung bertemu dengan klien. "Ga, aku ..."

"Bentar," potong Svarga. Dia masih harus menelepon seseorang. Queenzi pun kembali bungkam.

Svarga menekan loudspeaker dan menaruh ponsel itu ke meja. "Maudy, saya udah bicara dengan Mr. Frank, beliau ingin merevisi kontrak sebagai konsekuensinya. Nanti kamu kirim hasilnya ke saya."

"Tapi Pak, nilai yang beliau tawarkan kali ini sangat jauh dari kesepakatan awal. Kita mungkin tidak akan mendapat keuntungan apa-apa dari kerjasama ini."

"Iya, saya tahu. Tapi ini sudah menjadi konsekuensi yang harus kita terima. Kita tidak bisa mundur lagi, nama baik perusahaan lebih penting. Kamu turuti saja permintaannya," suruh Svarga.

"Baik, Pak."

"Oke, makasih." Svarga pun menekan ikon merah untuk menutup telepon. Setelah itu dia menatap Queenzi dengan serius. "Kamu mau ngomong apa?" tanyanya.

Terdengar asing.

"Aku ... Aku mau minta maaf karena udah ..." Queenzi terdiam sejenak, tak menemukan kalimat pembelaan yang tepat. Lalu jujur saja, "tapi aku nggak bermaksud mempermainkan kamu. Tadi itu aku bener-bener takut, Ga. Aku udah mikir buat hubungin polisi, tapi nggak tau kenapa aku merasa lebih aman kalau nelepon kamu duluan."

"Maaf kalau aku udah bikin kerjaan kamu berantakan. Harusnya sekarang kamu udah di Singapore ketemu sama klien penting, tapi gara-gara aku ..." Queenzi menunduk, begitu menyesal.

Svarga menghela napas, lalu berdiri dan mendekati Queenzi. Dia duduk di sebelah istrinya itu, lalu memegang tangannya. "Aku nggak marah karena itu, kamu lebih penting dari kerjaan bernilai berapapun. Aku cuma nggak habis pikir, kenapa kamu ambil risiko sebesar ini? Gimana kalau dia ..." Hal ini membuat Svarga sesak, sehingga tidak melanjutkannya.

"Maaf ... Aku bener-bener nggak mikir sampe ke situ tadi. Ngeliat dia hampir pingsan karena kelaparan, yang ada di pikiran aku cuma gimana caranya ngebantuin dia." Queenzi mulai terisak.

Svarga tidak bisa berkata apa-apa lagi atau marah lebih lama. Dirangkulnya Queenzi dengan lembut. "Udah nggak usah dipikirin lagi, terpenting kamu baik-baik aja, aku nggak peduli yang lainnya," ucapnya.

"Tapi gimana sama klien kamu? Tadi aku denger kayaknya ada masalah ya gara-gara kamu batalin meeting?"

"Bukan masalah besar, kamu tenang aja aku bisa atasi." Svarga jelas tidak ingin Queenzi khawatir.

"Maafin aku ya, Ga ..." Queenzi terisak lebih keras.

"Aku bilang udah, nggak papa. Jangan nangis," bujuk Svarga.

Queenzi mendongak. "Kamu beneran nggak marah lagi?" tanyanya dengan sedikit merengek.

"Iya nggak." Svarga berkata lembut, sembari menghapus air mata Queenzi dan terkekeh, "jelek banget kalau lagi nangis."

"Nanti kalau aku cantik-cantik kamu nggak suka, kamu cemburu," rengek Queenzi.

Svarga mau tak mau tertawa. "Kamu bener, mending jelek gini aja biar aku nggak perlu cemburu sama pria lain yang ngeliatin kamu," ucapnya.

"Ya udah, aku nggak usah mandi lagi."

Svarga menganga sebentar. "Jangan dong," sahutnya cepat.

Queenzi mencebik. "Tetep aja kamu butuh istri yang cantik," gerutunya.

Svarga tertawa. "Aku bakalan seneng banget kalau istri aku cantiknya pas aku lagi di rumah aja. Jadi, yang lihat cukup aku aja," bisiknya.

Ponsel Svarga berbunyi.

"Bentar." Svarga menghampiri ponsel itu di meja, langsung menerimanya begitu melihat nama Maudy di layar.

"Pak Svarga, ada masalah di kantor." Nada suara Maudy terdengar panik.

"Ada apa Maudy?"

Svarga mendengarkan penjelasan Maudy dengan ekspresi terkejut. "Kamu sudah konfirmasi langsung ke beliau?" tanyanya.

"Tadi saya sudah mencoba menelepon Pak Gusti langsung, tapi sekretarisnya bilang beliau sedang rapat."

"Ya sudah, saya akan datang sebentar lagi. Kami coba terus hubungi Pak Gusti, usahakan untuk mengatur pertemuan dengan beliau hari ini juga," perintahnya.

"Baik, Pak."

Setelah Svarga menutup telepon, Queenzi langsung mendekati suaminya itu. "Ada apa, Ga?" tanyanya khawatir.

Svarga mengajak Queenzi duduk lebih dulu. Dia masih bersikap tenang meski masalah yang menimpa perusahaannya ini sangatlah genting. "Ada sedikit masalah di perusahaan," beritahunya.

"Masalah apa?"

"Pak Gusti mau membatalkan investasinya terkait project Mr. Frank. Besar kemungkinan Pak Gusti tau kalau Mr. Frank berubah pikiran soal kontrak yang udah disepakati," beritahunya.

"Ya ampun, terus gimana?" Queenzi kembali merasa bersalah.

"Nggak papa, aku bakalan atasi ini." Meski mengatakan itu, dari ekspresi Svarga semuanya tidak baik-baik saja.

"Kalau Pak Gusti batal investasi apa yang akan terjadi?" tanya Queenzi.

"Perusahaan akan kekurangan dana untuk melanjutkan project Mr. Frank. Project-nya nggak akan bisa jalan," beritahu Svarga.

"Kenapa nggak project itu aja yang kamu batalin? Bukannya tadi Maudy bilang kesepakatan baru dari Mr. Frank nggak akan menguntungkan perusahaan?"

"Kalau project itu sampai dibatalin, perusahaan akan kehilangan lebih banyak investor, Queen. Para investor itu nggak akan menaruh kepercayaan lagi pada perusahaan."

Queenzi jadi khawatir. Dia memegang tangan Svarga. "Semuanya gara-gara aku," sesalnya.

"Apaan sih, Queen. Kamu nggak usah nyalahin diri sendiri. Kalaupun kamu nggak nelepon aku dan aku baru tau setelah tiba di Singapore, aku bakalan tetep pulang. Mana mungkin aku bisa tenang kalau kamu kenapa-kenapa."

Svarga menggenggam tangan istrinya itu. "Kamu tau nggak, saat tadi kamu bilang dibanding nelepon polisi kamu lebih merasa aman kalau nelepon aku duluan, itu berharga banget buat aku. Buat aku kamu jauh lebih berharga dibandingkan proyek triliunan itu," ucapnya sungguh-sungguh.

Queenzi terpana mendengarnya. Dia bisa merasakan ketulusan Svarga. Bisa melihat kejujurannya dari tatap matanya. Bisa merasakan besarnya cinta untuknya dari perhatiannya ini.

"Kamu udah ngelakuin banyak hal buat aku, tapi apa yang bisa aku lakuin untuk kamu?" tanya Queenzi merasa tidak berguna.

"Cukup kasih aku jawaban kalau kita perlu merobek kertas perjanjian itu, karena aku mau selamanya sama kamu."

***

Buat yang udah gak sabar baca sampai tamat, di Karyakarsa udah tamat dan no skip-skip ... sampai chapter 80 🔥🔥🔥

Perjanjian Pranikah #365 HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang