Svarga menyuruh Queenzi duduk di sofa, lalu dia meminta Maudy untuk membawakan kotak P3K. Dia duduk di samping wanita itu dan memeriksa lebih detail memar-memar yang ada di tubuhnya. Selain bibir, juga ada di pergelangan tangan. Dia ingat seperti apa kuatnya dia mencekal tangan wanita itu, juga menciumnya dengan begitu kasar.
Dipegangnya dengan lembut tangan Queenzi, mengamati memar itu dengan penuh rasa bersalah. "Maafin aku," lirihnya begitu menyesal. "Aku udah nyakitin kamu."
Queenzi diam saja.
Tok. Tok. Tok.
"Masuk," suruh Svarga.
Maudy masuk membawa kotak P3K yang diminta. "Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak? Bu Queenzi mau minum apa?" tanyanya sangat sopan.
Queenzi menggeleng.
"Sementara nggak ada. Kamu bisa ke luar," suruh Svarga.
"Baik, Pak." Maudy langsung ke luar.
Svarga mencari salep untuk memar, membaca bagian belakang kemasan agar tidak salah. Setelah menemukan yang tepat, ditaruhnya sedikit salep berbentuk gel bening itu ke ujung jari, diolesnya ke sudut bibir Queenzi dengan lembut. "Sakit nggak?" tanyanya takut menyakiti.
Queenzi menggeleng.
Svarga menatap lekat bibir Queenzi, makin merasa bersalah. Diusapnya bibir bawah wanita itu dengan ujung jari. "Maafin aku," ucapnya sekali lagi dengan ekspresi sedih.
"Kenapa nggak bilang kalau semalem kamu nemuin Ardan?" tanya Queenzi setelah lumayan bisa menenangkan diri dari emosi.
Svarga diam cukup lama. Sampai dia menjawab, "aku belum cukup tenang untuk membahas itu. Aku takut nanti malah makin nyakitin kamu kalau emosi aku belum bisa dikendalikan," jujurnya.
"Ardan emang dateng kemaren, terus aku ngizinin dia masuk." Queenzi pun berterus terang.
Svarga menunduk, sedang meredam emosinya yang kembali memanas.
"Aku nggak tau gimana hape dia bisa ada di kamar belakang, mungkin saat dia ke toilet, dia sengaja ninggalin hapenya di sana," beritahu Queenzi lagi.
"Aku tau kamu bakalan susah untuk percaya, tapi demi Tuhan aku nggak macem-macem sama dia. Kita cuma ngobrol sebentar, terus dia ke toilet dan setelah itu pergi. That's all that happened," tambah Queenzi.
Svarga mengangkat kepala menatap Queenzi begitu dalam, namun belum mengatakan apa-apa.
"Aku nggak punya cara untuk buktiin itu, tapi aku ..."
Svarga menaruh telunjuknya ke bibir Queenzi. "Aku percaya," potongnya. "Aku lebih percaya sama kamu."
Queenzi lalu meraba memar di wajah Svarga. "Kenapa kamu bodoh banget sampai ngikutin permainan dia? Apa ini setimpal?" lirihnya sedih.
Svarga menggenggam tangan Queenzi itu, lalu tersenyum tipis. "Tujuan dia membuat permainan ini agar aku ikut bermain dan dia nggak akan berhenti sebelum aku masuk perangkapnya," ucapnya.
"And you really fall into the trap."
Svarga mengangguk. "Aku pikir, aku cukup kuat untuk nggak terpengaruh sama omongan dia. Tapi ternyata aku lemah kalau udah menyangkut kamu. Walau aku tau dia bohong, tetep aja aku nggak terima," jujurnya.
"Ga, aku udah janji sama kamu nggak akan kembali sama dia. Aku juga janji sama kamu bakalan berusaha untuk hubungan kita. So please believe in me, because I'm really trying hard." Queenzi mengingatkan.
"I'm sorry. I'm so sorry." Svarga sangat menyesal. "Kebodohan aku semalem udah nyakitin kamu, aku nyesel banget, Queen."
Queenzi menghela napas. "Aku juga salah karena nggak jujur sama kamu. Andia aku bilang ke kamu sejak awal, pasti nggak akan kayak gini jadinya. Wajar kalau kamu jadi negatif thinking setelah semua yang Ardan lakuin," ucapnya.
"Aku janji nggak akan mengulangi itu lagi. Kalau sampai aku nyakitin kamu lagi kayak semalem, kamu harus lapor Polisi," ucap Svarga serius.
"Aku lebih terganggu sama kehadiran Sonya di kantor kamu. Mau ngapain dia? tadi kalian mau ciuman?" todong Queenzi kesal.
"Katanya nggak peduli," ledek Svarga.
"Ya udah, aku pulang." Queenzi ingin berdiri, tapi Svarga malah menahan tangannya.
"Aku cuma bisa bilang kalau Sonya dan Ardan punya tujuan yang sama, mereka mau merusak pernikahan kita. Tapi kamu tenang aja, iman aku nggak serapuh itu untuk tergoda sama dia. I already have you, that's enough."
Queenzi mencebik. "Lama-lama juga kamu pasti luluh sama dia. Apalagi dia cantik, pakaiannya aja seterbuka itu," ejeknya.
"Mau bukti?" Svarga mengangkat satu alisnya, terlihat licik.
Queenzi ikut mengangkat alis.
Selanjutnya, Svarga membaringkan Queenzi di sofa, membuat wanita itu menjerit. "Ga, ini masih di kantor. Gimana kalau ada yang masuk?" tepis Queenzi was-was.
"Nggak akan ada yang berani masuk tanpa izin dari aku. Tadi aku udah perintahkan Maudy untuk melarang siapapun masuk, jadi aman." Svarga kembali menciumi leher Queenzi.
Queenzi tidak yakin dengan ucapan Svarga, tapi sulit juga menolak gairah yang pria itu hadirkan pada cumbuan panasnya. "Beneran nggak papa di sini?" tanyanya sekali lagi.
Svarga berhenti menciumi Queenzi, beralih menatapnya. "Kamu nggak nyaman di sini?" tanyanya tidak ingin memaksa.
"Emm, sedikit." Queenzi berkata jujur.
"Ya udah, kita move ke hotel aja kalau gitu. Kebetulan di sebelah kantor ada hotel." Svarga menarik Queenzi untuk berdiri.
"Kenapa nggak pilang aja?" Queenzi membenahi pakaiannya.
"Kamu pikir aku bisa nahan selama itu?" Svarga sudah sangat bernafsu.
Queenzi meringis.
Svarga dengan cepat mengajak sang istri ke luar dari kantornya, lalu lari ke dalam lift. Di dalam lift yang hanya ada mereka berdua, Svarga mencium bibir Queenzi karena sudah tidak tahan lagi.
"Ga, tahan dulu," tepis Queenzi sambil mendorong Svarga.
"Cuma ciuman." Svarga menekan Queenzi ke badan lift, lalu melumat bibirnya lagi.
Queenzi tidak bisa menolak lagi, dia imbangi ciuman Svarga. Jarak antara lantai di kantor Svarga dan lobi cukup jauh sehingga mereka bisa sangat puas berciuman. Selain itu lift ini bukan untuk umum, melainkan khusus untuk para petinggi di kantor ini.
Khusus untuk para petinggi, kan?
Itu sebabnya pintu lift tiba-tiba terbuka entah di lantai berapa, tapi Svarga dan Queenzi tidak menyadarinya. Mereka terus asyik berciuman, padahal di depan pintu sudah berdiri empat orang penting di perusahan. Tiga orang pria dan satu wanita paruh baya.
Sampai akhirnya Queenzi menyadari kejanggalan karena lift terasa sangat tenang. Dia membuka mata, mencoba melihat dari punggung Svarga. Saat tahu ada yang menonton mereka di sana, dengan cepat dia mendorong suaminya itu.
Svarga yang masih terbawa nafsu, malah mencoba untuk mencium sang istri kembali. Penolakannya serta acungan jarinya membuat Svarga akhirnya menoleh ke belakang. Saat itu juga dia menegakkan tubuh seolah masih punya wibawa.
Empat orang yang merupakan para pemegang saham di perusahaan Svarga itu saling pandang, lalu memutuskan untuk tidak jadi masuk ke lift itu. Pintu lift pun tertutup dan turun kembali.
"Ihh, malu banget," keluh Queenzi sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan.
Svarga malah tertawa geli. Memang memalukan sebenarnya, apalagi empat orang itu bukan karyawan biasa, tapi mau bagaimana lagi? Mau memutar waktu pun sudah tidak bisa.
"Kamu kok malah ketawa sih?" protes Queenzi.
"Lucu aja ngebayangin ekspresi mereka tadi."
***
Jangan lupa vote dan komen, ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjanjian Pranikah #365 Hari
RomanceSvarga dan Queenzi pernah menjalin hubungan saat di bangku kuliah, namun kandas di tengah jalan. Beberapa tahun kemudian, keduanya kembali dipertemukan oleh takdir saat memergoki pacar mereka berselingkuh. Merasa sama-sama dikhianati, Keduanya pun m...