Queenzi terbangun saat tiba-tiba Svarga menyerangnya dengan ciuman yang begitu dalam. Bibirnya dilumat secara penuh. Didorongnya dada pria itu sembari memiringkan wajah agar terlepas dari ciuman itu, sebelum dilanjutkan ada yang ingin ditanyakannya dulu.
"Kamu habis dari mana? Kok pergi nggak bilang-bilang?" tanya Queenzi. Tadi saat Svarga tidak kunjung masuk ke kamar, dipanggil-panggil juga tidak menyahut, Queenzi turun ke bawah mencarinya. Suaminya itu sudah tidak ada dan pintu terkunci dari luar.Alih-alih menjawab, Svarga kembali mencium bibir Queenzi. Dia pegangi tangan wanita itu dengan kuat di atas kepalanya agar tidak berontak lagi. Ini bukan sekadar ciuman, melainkan sebuah pelampiasan.
Lantaran hanyut dalam pusaran gairah, Queenzi pun mengabaikan pertanyaannya tadi dan memilih untuk mengimbangi Svarga. Dia tidak menaruh kecurigaan apapun lantaran suaminya ini memang nyaris setiap malam mengganggunya saat tidur.
Merasa Queenzi sudah meladeninya, Svarga pun melepas tangannya. Dia mencium bibir wanita itu lebih dalam lagi, namun lembut. Tangannya cepat mendarat di dadanya, meremasnya kuat dari luar lingerie yang tidak mengenakan bra.
Saat ingat ucapan Ardan tadi, Svarga kembali melampiaskannya dengan menyentuh sedikit lebih kasar. Dia isap kuat leher Queenzi di banyak tempat. Dia tarik tali kecil di pundak wanita itu hingga dadanya terlihat.
"Ah." Queenzi meringis, bukan karena nikmat melainkan sakit. Svarga menggigit puncak dadanya terlalu kuat.
Lantaran makin lama Svarga makin kasar, Queenzi pun kehilangan nafsu sehingga pasrah saja meski kesakitan. Dia membiarkan pria itu melakukan apapun yang disukainya, menahan perihnya penyatuan tanpa kesiapan.
Svarga yang sudah menjelma seperti iblis terus menghentak Queenzi. Dia mengabaikan perasaan tidak nyaman pada penyatuan ini, terus memacu tubuhnya untuk segera mencapai klimaks. Entah karena keadaan yang gelap atau memang pikirannya tidak berad di sini, dia sepertinya tidak melihat ringisan kesakitan di wajah istrinya itu.
"Ah." Svarga mengerang sendirian.
Setelah selesai dengan urusannya, Svarga langsung berbaring dengan posisi membelakangi Queenzi. Tidak ada ciuman lembut sebagai penutup atau ucapan mesra di telinga seperti biasanya.
Queenzi masih telentang bagaikan patung, mencoba mencerna semua yang terjadi barusan. Dia menoleh ke samping, melihat pria itu seperti bukan Svarga yang dikenalnya. Tadi saat makan malam, dia sangat yakin semuanya baik-baik saja. Tapi kenapa Svarga seperti ini sekarang?
***
Besoknya saat bangun, Queenzi baru merasakan sekujur tubuhnya nyeri akibat perlakuan Svarga tadi malam. Pergelangan tangannya masih merah bekas cekalan, sudut bibirnya memar dan sedikit bengkak. Selain itu leher dan dadanya dipenuhi bekas ciuman kasar Svarga yang mulai menghitam.
Cklek.
Svarga keluar dari kamar mandi dan ekspresinya benar-benar dingin. Pria itu langsung membuka lemari dan mengeluarkan setelan pakaian kerja, sedikitpun tidak menoleh Queenzi.
"Kamu mau aku buatin sarapan apa? Atau mau aku beliin bubur? Katanya bubur yang dijual di depan kompleks enak," tanya Queenzi mengabaikan rasa sakitnya.
"Nggak usah, aku buru-buru. Aku bisa makan di kantor nanti," jawab Svarga datar. Dia berpakaian cepat, setelah selesai langsung ke luar kamar tanpa berpamitan.
Queenzi mengejar suaminya itu, lalu menghalanginya di depan pintu. "Ada apa sih? Kamu kenapa? Kok kayaknya marah sama aku, emang aku ada salah?" tanyanya bertubi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjanjian Pranikah #365 Hari
RomanceSvarga dan Queenzi pernah menjalin hubungan saat di bangku kuliah, namun kandas di tengah jalan. Beberapa tahun kemudian, keduanya kembali dipertemukan oleh takdir saat memergoki pacar mereka berselingkuh. Merasa sama-sama dikhianati, Keduanya pun m...