Queenzi duduk di sebelah Svarga, lalu memiringkan kepala menatap pria itu untuk menggodanya. Meski wajahnya teramat datar, kadar ketampanannya tetap tidak berkurang. Sejujurnya dia merasa iri Svarga memiliki bibir yang begitu sehat dengan warna cerah, tak seperti dirinya yang terkadang kering kalau tidak memakai lip balm.
"Kata orang bibir cowok perokok itu gelap, tapi kenapa kamu nggak, ya?" tanya Queenzi.
Svarga yang tadinya menatap lurus ke arah piano, beralih menatap Queenzi. Dia tetap diam, mungkin karena tidak ingin emosinya meluap.
"Aku beneran ke luar beli pembalut, soalnya tiba-tiba dapet. Maaf ya kalau udah bikin khawatir, harusnya Mami nggak nelepon kamu." Queenzi secara gentle mengakui kesalahannya.
"Kenapa nggak nelepon kalau emang penting? Kamu bisa minta aku beliin, nggak perlu ke luar sendiri." Svarga bicara dengan tenang.
"Ya kali aku nelepon kamu jam segini minta beliin pembalut. Lagian, kan, lagi ada temen-temen kamu di rumah kamu, makin nggak enaklah nyuruh kamu ke sini."
Svarga mengesah. "Aku lebih seneng kalau kamu ngerepotin aku daripada aku harus dibuat khawatir kayak gini. Rasanya bikin gila tau nggak?"
Queenzi tersenyum jahil. "Emangnya kamu segitu takutnya ya kehilangan aku?" godanya.
"Aku takut kamu pergi dan lebih pilih dia," ucap Svarga jujur dari hatinya. "Aku dibuat takut akhir-akhir ini, tapi nggak bisa apa-apa." Dia menunduk.
Queenzi memegang pipi Svarga agar menatapnya kembali. "Ga, kalau aku nggak serius mau nikah sama kamu, kita nggak akan sejauh ini. Aku nggak akan buang-buang waktu buat ngurus semuanya. Aku udah janji sama kamu untuk nyoba, at least one year, sesuai kesepakatan kita. Then I'll try, I promise." Dia mencoba meyakinkan.
Svarga pun akhirnya bisa tersenyum, lega sekali mendengarnya. Dibelainya pipi Queenzi yang terasa dingin. "Aku bakalan nunggu sampai kamu yakin sama perasaan kamu," ucapnya.
Queenzi mengangguk.
"Kamu beneran lagi dapet?" tanya Svarga beralih topik.
"Iya nih. Jadwalnya lebih cepet dari yang seharusnya, makanya nggak ada persiapan," keluh Queenzi.
"Biasanya berapa hari?"
"Lima sampai tujuh hari."
"Yahh." Svarga mengesah kecewa.
"Kok gitu ekspresinya?"
"Besok nggak bisa malam pertama, dong?" kekeh Svarga.
Mulut Queenzi menganga, baru sadar ternyata yang dipikirkan Svarga itu. Dia pun dengan sengaja mengisengi, "lima sampai tujuh hari itu biasanya belum bersih banget, jadi belum bisa langsung ..."
"Bersihnya hari ke berapa?"
"Bisa tiga sampai empat mingguan."
"Hah, serius selama itu?" Svarga yang percaya terlihat sangat kaget. Ekspresinya sangat lucu.
Queenzi tertawa kencang, lupa kalau sudah terlalu larut malam. "Gampang banget sih dibohongin," ledeknya.
"Hmm, ngeselin. Kirain beneran harus nunggu selama itu. Jahat ya kamu." Svarga menggelitik pinggang Queenzi, membuat wanita itu makin keras tertawa.
"Iya iya ampun, udah." Queenzi masih menyisakan kekeh. Sampai perlahan lenyap karena jarak mereka yang terlalu dekat dan Svarga menatapnya lekat.
Svarga mengecup bibir Queenzi, tidak lama dan hanya sekali. "Nggak sabar nunggu besok. Pengen lihat kamu pake gaun pengantin, terus kamu jalan mendekati aku, pasti cantik banget." Matanya berbinar-binar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjanjian Pranikah #365 Hari
RomanceSvarga dan Queenzi pernah menjalin hubungan saat di bangku kuliah, namun kandas di tengah jalan. Beberapa tahun kemudian, keduanya kembali dipertemukan oleh takdir saat memergoki pacar mereka berselingkuh. Merasa sama-sama dikhianati, Keduanya pun m...