Cuaca sangat mendung begitu Juan turun dari mobil. Anak itu baru saja pulang dari sekolah. Melihat kearah langit, Juan berpikir mungkin sebentar lagi langit akan menumpahkan kesedihannya. Membagikannya pada setiap orang yang ada di bumi.
Andaikan Juan pun bisa seperti itu. Membagi kesedihannya pada orang lain. Tapi kenyataannya, Juan hanya sendirian. Tidak ada orang lain disisinya. Meskipun Bara pernah berkata bahwa dirinya siap mendengar segala keluh kesah Juan, tapi rasanya kesedihannya ini tidak bisa dibagi pada Bara.
Sejak hari dimana Juan berbicara dengan Maharani di garasi, hingga saat ini pikiran Juan selalu tidak tenang. Juan memilih untuk menyimpan rahasia kematian Ibunya, karena tidak ingin rumah tangga Papanya hancur. Tapi disisi lain, Juan juga merasa bersalah pada Ibunya karena membiarkan wanita yang telah membunuh Ibunya bebas berkeliaran tanpa rasa bersalah sedikitpun. Bahkan dia bisa tertawa lepas seperti saat ini.
Juan yang baru memegang hendle pintu mendadak menghentikan gerakannya saat mendengar gelak tawa dari dalam rumah. Tawa yang paling Juan benci. Tawa dari orang yang telah membunuh ibunya.
Bagaimana mungkin orang itu masih bisa tertawa setelah apa yang telah dia lakukan. Juan tidak habis pikir. Sementara dirinya belasan tahun hidup menderita karena kehilangan sosok seorang ibu. Meskipun ada ibu angkatnya, tapi tetap saja rasanya akan berbeda.
Juan merubah arah tujuannya. Bukan lagi masuk kedalam rumah, melainkan ke lapangan basket. Juan enggan bertemu dengan wanita itu.
Menemukan bola orange itu dipinggir lapangan, mungkin waktu itu bi Diah yang menyimpannya disitu. Juan juga menyimpan tas sekolahnya disitu.
Juan melangkah ke lapangan dengan bola basket ditangannya. Dia mulai mendribble bola basketnya. Ada sedikit perasaan senang saat Juan memainkan benda bulat itu.
Shoot!!
Juan melemparkan bola itu pada ring, dan masuk. Senyum langsung menghiasi bibirnya. Kemudian Juan mulai melakukan tembakan lainnya dengan berbagai gaya. Tidak ada peraturan permainan, disini dia hanya sendirian. Juan bebas melakukan apapun pada permainan basketnya.
Juan terus melempar bola itu pada ring, tidak perduli sekarang hujan mulai mengguyur tubuhnya. Seandainya saja bola ini adalah masalah dihidupnya, Juan sudah melemparnya jauh.
Hujan semakin deras mengguyur tubuhnya. Tapi Juan tidak berniat menghentikan permainannya. Hatinya kacau, pikirannya berantakan.
Juan menengadahkan kepalanya ke langit. Menikmati tetesan hujan yang membasahi wajahnya.
"Ibu. Ibu pasti tidak tenang kan diatas sana. Ibu pasti sedih melihat orang yang telah menyebabkan kepergian Ibu, tertawa tanpa dosa disini" Batin Juan.
Terus seperti itu, entah sudah berapa lama Juan membiarkan dirinya diguyur hujan. Dan malamnya, Juan terserang demam. Kepalanya pusing bukan main. Menyebabkan perutnya sedikit mual.
Juan mendudukan tubuhnya dipinggir kasur. Tangannya menggenggam satu tablet paracetamol yang tadi dia minta pada bi Diah seusai makan malam. Berharap demamnya akan membaik esok pagi.
Tapi ternyata tidak. Yang ada, paginya tubuh Juan terasa remuk. Kepalanya juga semakin pusing. Bahkan Juan hampir ambruk saat berjalan ke kamar mandi saking lemasnya. Wajahnya juga terlihat pucat saat Juan melihat pantulan dirinya di cermin.
Juan tetap memaksakan dirinya untuk berangkat ke sekolah. Selain karena hari ini ada presentasi di kelasnya, Juan juga tau Maharani sedang libur bekerja hari ini. Dan kemungkinan wanita itu tidak akan pergi kemana-mana.
Meskipun badannya sakit tidak karuan, setidaknya di sekolah akan lebih baik karena Juan tidak perlu melihat wajah Maharani. Karena setiap melihat wanita itu, hati Juan terasa sakit mengingat perlakuan wanita itu pada ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SURRENDER (END)
Teen FictionJuan merasa hidupnya seperti terombang-ambing ditengah lautan setelah kepergian Ibunya untuk selama-lamanya. Banyak hal tak terduga yang Juan alami setelah kepergian Ibunya. Mulai dari fakta bahwa ia berasal dari keluarga berada hingga fakta bahwa I...