Sekitar pukul 8 malam, Juan baru saja menyelesaikan bimbingan belajarnya. Selama beberapa minggu ini memang selalu ada guru yang secara rutin datang ke mansion untuk mengajar Juan. Padahal kondisi Juan sudah cukup baik untuk kembali belajar di sekolah. Tapi Mahesa masih tidak mengizinkannya.
Juan hendak meminum obat saat Bi Diah mengetuk pintu kamarnya dan mengatakan bahwa Mahesa menyuruhnya untuk datang ke ruang kerjanya. Entah hal penting apa yang akan Papanya itu sampaikan padanya sampai-sampai Juan harus menemui pria paruh baya itu di ruangannya.
Juan mengetuk pintu sebelum masuk kedalam ruangan. Disana sudah ada Papa dan Kakak pertamanya yang sedang duduk disofa panjang yang ada diruangan itu. Juan lalu mengambil duduk disamping Kakaknya.
Awalnya Juan merasa heran akan kehadiran Bara diruang kerja Papanya. Tapi Juan enggan ambil pusing.
"Juan, bagaimana hasil cekup hari ini? Apa yang dokter katakan?" Mahesa memulai pembicaraan begitu putra bungsunya duduk disamping putra pertamanya.
"Dokter bilang pemulihan ku sudah 90%. Papa tidak perlu khawatir. Luka bekas operasinya juga sudah benar-benar kering. Hanya masih sedikit gatal"
"Syukurlah kalau begitu" Mahesa menjeda sesaat.
"Juan sebenarnya ada hal penting yang harus Papa bicarakan denganmu"Juan membenarkan posisi duduknya menjadi lebih tegak. Firasatnya mengatakan dia tidak ingin mendengar apapun yang akan Papanya katakan tentang hal penting itu. Tapi otaknya malah mengatakan yang sebaliknya.
"Apa, Pa?"
Mahesa terlihat menghela napas sejak.
"Papa ingin kamu pindah sekolah ke luar negeri. Mungkin di Jerman atau di Australia, terserah kamu ingin sekolah dimana. Atau mungkin kamu punya negara impianmu sediri?""Maksud Papa apa?" Bukan. Itu bukan suara Juan, melainkan Bara. Jujur Bara tidak mengerti dengan jalan pikiran Papanya.
"Papa tidak punya pilihan lain. Ini keputusan yang paling tepat yang harus Papa ambil" Mahesa mencoba menjelaskan.
"Kalau Papa merasa keberatan dengan kehadiran Juan dirumah ini, biar Juan ikut tinggal di apartemen bersamaku saja" lagi, Bara kembali menyahut.
"Bukan begitu Bara, Papa hanya tidak ingin terjadi lagi hal-hal yang tidak diinginkan. Sudah cukup kejadian kemarin membuat Papa kelimpungan. Beruntung media mudah sekali dialihkan. Jika tidak, mungkin reputasi kita akan terancam. Belum lagi dampaknya pada Juan. Kamu melihatnya sendirikan?"
"Tapi, Pa... "
"Keputusan Papa sudah bulat, Bara. Papa tidak meminta persetujuan dari kamu."
"Bagaimana kalau aku menolak" Kali ini Juan angkat bicara.
Baik Mahesa ataupun Bara sama-sama menoleh ke arah Juan. Melihat tatapan kosong anak itu, dengan genangan air di pelupuk matanya.
"Aku tidak mau pindah ke luar negeri. Aku ingin disini saja. Papa boleh mengirim ku kembali ke kampung. Tapi tolong jangan keluar negeri" Juan berkata dengan sangat lirih, menahan rasa sakit dari tenggorokannya yang tercekat.
"Juan, ini demi kebaikan kamu. Lagipula siapa yang akan mengurus kamu dikampung?"
"Aku bisa mengurus diriku sendiri, Pa. Dari dulu juga begitu. Aku tidak akan menggangu Papa atau siapapun lagi dirumah ini" Juan berdiri dari duduknya. Dia berjalan kearah Mahesa dan bersimpuh dihadapan Papanya itu. "Tolong jangan kirim aku keluar negeri. Bawa saja aku ke kampung dan Papa bisa melanjutkan hidup Papa seperti dulu sebelum aku masuk kedalam kehidupan Papa" Juan bahkan tidak bisa menyembunyikan tangisannya lagi.
"Keputusan Papa sudah bulan, Juan. Tolong jangan membantah" Mahesa tetap mengeraskan hatinya. Meski dihadapannya putra bungsunya sedang menangis terisak sambil berlutut memohon padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SURRENDER (END)
Teen FictionJuan merasa hidupnya seperti terombang-ambing ditengah lautan setelah kepergian Ibunya untuk selama-lamanya. Banyak hal tak terduga yang Juan alami setelah kepergian Ibunya. Mulai dari fakta bahwa ia berasal dari keluarga berada hingga fakta bahwa I...